Sunday, December 13, 2009

2012 (2009)

Genre : Drama – Science Fiction

Directed by : Roland Emmerich

Produced by : Harald Kloser, Mark Gordon, Larry Franco

Starring : John Cusack, Amanda Peet, Thandie Newton, Woody Harrelson, Danny Glover, Oliver Platt

Written by : Roland Emmerich, Harald Kloser

Music by : Harald Kloser, Thomas Wander, James Seymour Brett

Cinematography : Dean Semler

Edited by : David Brenner, Peter S. Elliot

Running time : 158 minutes

Budget : US$ 200 millions

Distributed by : COLUMBIA PICTURES

Ini salah satu film yang saya antisipasi tahun 2009. Setelah sukses dengan Independence Day, duet Roland Emmerich dan Dean Devlin kian berkibar di Hollywood. Sebelum ini mereka cukup sukses mengarahkan Jean Claude Van-Damme dalam film Universal Soldier (1992). Lalu diperkuat lagi oleh Stargate (1994) dan puncaknya memang ID-4 yang menurut Spielberg pun sebuah film Alien yang sulit “ditandingi”. Mengantongi US$ 817 juta dengan bujet hanya US$ 75 juta pada tahun 1996. Lalu kemudian setelah Godzilla (1998) yang kurang sukses (menurut banyak orang), kalo saya sih mengagumi film mereka yang bercerita tentang monster raksasa yang “disadur” dari monster asal Jepang ini. Bahkan masih sedikit film masa kini yang bisa menandingi kecanggihan teknologi Godzilla. Kemudian The Patriot (2000) yang dibintangi oleh Mel Gibson. Berbeda dari pakem mereka yang cenderung mengambil genre science fiction, The Patriot bisa dibilang film drama kolosal. Namun entah kenapa ketika The Day After Tomorrow (2004) Emmerich tidak berduet lagi dengan Devlin. Tapi ternyata The Day After Tomorrow (TDAT) mengeruk sukses. Maka Emmerich menjadi lebih konfiden dalam membuat 10.000 BC (2008) dan kini setelah beberapa kali mengalami pengunduran rilis. Maka tepat tanggal 13 November 2009, 2012 muncul di bioskop Indonesia.

Emmerich yang diberi gelar sebagai master of disaster, dengan instingnya yang luar biasa segera membuat cerita yang diadaptasi dari perhitungan kalender suku Maya. Mengenai kalender suku Maya, Emmerich hanya mengambil kulit luarnya saja. Hanya sebatas itu. Jika anda ingin mengetahui banyak tentang hal tersebut lewat film ini, lupakan saja niat anda.

Film mengambil waktu yang terentang cukup panjang dari kebanyakan film Emmerich, yaitu dari 2009, terus bergulir 2010, lalu tidak berlama-lama, 2011 dan tibalah 2012. Cukup lama, empat tahun.

Berbeda dengan film-film Emmerich sebelumnya. Emmerich tidak terlalu menggebu-gebu untuk segera menghancurkan kota. Kali ini, bagian awal dibuat naik turun dengan durasi yang cukup lama, dan pengenalan karakter-karakter sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menggoncangkan Los Angeles dengan gempa dahsyat. Jika anda mengikuti semua film Emmerich, maka tidak sulit untuk menemukan pengulangan adegan-adegan dari film sebelumnya atau bahkan film-film lain. Hanya jangan takut, Emmerich meramunya sehingga menjadi serupa tapi tak sama. Setelah sering menghancurkan di beberapa filmnya, jelas Emmerich sudah ahli dalam hal ini. (practice makes perfect, telah terbukti)



Sudah lama saya terkagum-kagum dengan trailer 2012. Saya sudah menyimpulkan bahwa ini akan menjadi film disaster paling dahsyat yang pernah ada. Dugaan saya sedikit keliru. Well, sebenarnya melenceng jauh. Yang sesuai dengan prediksi saya, hanyalah adegan gempa di Los Angeles yang memang sangat luar biasa. Saya jamin anda akan menahan napas selama adegan itu berlangsung. Terus terang, inilah adegan disaster paling menakjubkan yang pernah ada dalam sejarah Hollywood. Entah berapa lama waktu, usaha dan materi yang telah tercurah untuk adegan gempa ini. Saya sangat mengaguminya. Kerja yang sangat luar biasa dan hasilnya pun sangat-sangat tidak mengecewakan.



Sebenarnya 2012 memiliki banyak faktor untuk menjadi sebuah film yang lebih baik. Ada John Cusack, Thandie Newton, Oliver Platt dan Danny Glover. Suntikan dana yang besar. Banyaknya karakter layaknya sebuah film disaster sebenarnya sangat menarik untuk dikembangkan. I don’t know why, malah karakter Jackson Curtis yang diperankan oleh Cusack malah terlihat kurang menarik. Lebih menarik sosok Adrian yang dimainkan oleh Chiwetel Ejiofor. Sebenarnya dia lah tokoh sentral di film ini. Sedangkan Curtis hanyalah pemain dimana “pusat bencana” terjadi. Anda akan mengerti apabila sudah menontonnya. (ini hanya gurauan)
Satu lagi karakter yang menarik dalam film ini, Charlie Frost yaitu karakter yang dijiwai oleh Woody Harrelson. Menarik melihat Woody memainkan sosok esentrik yang dengan berani menyiarkan siaran radio rahasia yang mengatakan tentang kiamat dunia. Tapi sejujurnya tidak ada karakter yang benar-benar kuat dalam film ini. Bahkan “disaster-disaster”-nya pun kurang bertenaga kecuali sekali lagi gempa di Los Angeles yang sangat sensasional.




Sedikit berbeda dengan TDAT yang menurut saya adalah antiklimaks. Film ini tidak demikian. Masih banyak yang akan terjadi setelah anda pikir bahwa yang buruk sudah lewat. Hanya banyak yang berpikir bahwa paro akhir film kurang “nendang” dibandingkan paro awal. Tapi sekali lagi, menurut saya film ini tidak antiklimaks seperti TDAT. Diluar adegan gempa, sebenarnya saya lebih menikmati adegan-adegan disaster di TDAT. Hanya sekali lagi, jangan pejamkan mata anda dengan earthquake sequence dalam film ini. Sangat menakutkan. Selain dibandingkan dengan TDAT, mungkin sebagian orang akan membandingkannya dengan Knowing karya Alex Proyas yang dimainkan oleh Nicolas Cage. Kedua film ini memiliki tema yang hampir sama. Solar Flare. Dulu banyak yang bilang tidak menyukai Knowing tapi kini banyak juga yang lebih memuji Knowing daripada 2012. Secara pribadi, saya lebih suka ending Knowing dibandingkan ending 2012. Ini pendapat pribadi. Entah mana yang anda lebih suka. Tiap penonton mempunyai pendapat yang berbeda.

Selayaknya film disaster biasanya melibatkan sisi kemanusiaan. Bercampurnya sifat-sifat manusia dalam menghadapi bencana. Inilah yang sering dikedepankan dalam film bergenre serupa. Seperti dalam Armageddon, hubungan ayah dengan anak perempuannya. TDAT, hubungan ayah dengan putranya. Disini adalah banyak sekali hubungan orang tua dengan anaknya. Sayangnya tidak terlalu kuat digambarkan disini. Seakan-akan hanya berupa pajangan untuk mengisi kekosongan film yang berdurasi cukup lama. Penonton pun tidak diberi adegan-adegan yang membuat perasaan takut dalam menghadapi akhir dunia. Emmerich bisa dikatakan kurang sukses dalam mengaduk-aduk emosi penonton. Apalagi di bagian paro akhir film yang cenderung mengalir tanpa adanya percikan-percikan yang mengena di benak penonton. Ditambah humor-humor yang diselipkan terasa kering. Hanya satu kekocakan yang mungkin paling diingat penonton (saya tidak akan memberitahukan adegan yang mana). Adegan pidato sang presiden di ID-4 yang memorable tidak bisa dibandingkan dengan adegan pidatonya presiden Thomas Wilson (Danny Glover). Pidato beliau lewat begitu saja.




Sedikit yang saya tangkap dari film ini. Sindiran dan pandangan Emmerich. Misalnya ketika kapal perang Amerika sendiri yang menghantam White House ketika Tsunami melanda. Novel yang dikarang oleh Jackson Curtis “Farewell Atlantis” seakan-akan mengingatkan apakah Legenda Atlantis akan terjadi lagi pada bumi kita sekarang. Begitu juga pesawat Air Force One yang menghantam salah satu….(saya tidak akan menyebutkannya disini). Juga mungkin Emmerich ingin menjabarkan tentang takdir disini karena hebatnya Emmerich merangkai semua karakter dalam satu benang merah yang terlihat seperti keberuntungan.

Jadi dengan fenomenalnya 2012, setelah menontonnya, saya tidak menyarankan agar anda berdesak-desak, atau antri berjam-jam untuk film ini. Lebih baik tunggu antusias penonton menurun barulah anda menontonnya. Karena mungkin anda akan kecewa dengan ekspektasi anda akan film ini. Tapi jika memang anda sangat ingin melihat betapa luar biasa visual efek dari 2012, anda mungkin akan terhibur olehnya. Jadi jika anda memang berniat menontonnya, sangat disayangkan jika anda tidak menontonnya di bioskop karena dengan segala visual efek dan sound systemnya akan lebih mantap jika ditonton di layar lebar dengan sound system yang menggelegar.

Friday, October 2, 2009

G.I. JOE : THE RISE OF COBRA (2009)

Genre : Action – Science Fiction

Directed by : Stephen Sommers

Produced by : Lorenzo di Bonaventura, Bob Ducsay, Brian Goldner

Starring : Channing Tatum, Sienna Miller, Marlon Wayans, Rachel Nichols, Ray Park, Said Taghmaoui, Lee Byung Hun, Joseph Gordon-Levitt, Dennis Quaid, Jonathan Pryce

Written by : (screenplay) Stuart Beattie, David Elliot, Paul Lovett; (story) Michael B. Gordon, Stuart Beattie, Stephen Sommers; (comic book) : Larry Hama

Music by : Alan Silvestri

Cinematography : Mitchell Amundsen

Edited by : Bob Ducsay, Jim May

Running time : 118 minutes

Budget : US$ 175 millions

Distributed by : PARAMOUNT PICTURES

Mengikuti trend X-Men, lupakan kostum yang berwarna warni. Karena dengan alasan, tidak sinkron dengan dunia nyata, maka warna kostum menjadi cool-black (istilah baru hehe). Bagi yang ingin bernostalgia, mungkin akan merasa kurang berkenan. Untunglah tokoh-tokohnya masih tetap seperti serial kartunnya.


Saya tidak mengikuti film animasinya. Tapi menilik dari judulnya, The Rise of Cobra. Sebenarnya sudah awal yang tepat untuk memulai franchise G.I. Joe. Karena Cobra adalah sebuah organisasi yang selalu berseteru dengan pasukan G.I. Joe. Apalagi ditambah ending film mengarah ke sebuah sekuel. Diduga mungkin suatu saat akan seperti X-Men, ada origin dari masing-masing karakter seperti Duke, Ripcord dan Snake Eyes. Tolong jangan deh jika dilihat dari hasil film pionernya ini.

Tahun ini adalah tahunnya Hasbro, perusahaan yang juga memproduksi robot-robot Transformers. Padahal melihat bujet antara kedua film ini yang tidak berbeda jauh. Tapi entah kenapa di pandangan saya, terlihat sekali perbedaan yang signifikan antara keduanya. Terutama sekali dari visual efeknya. Atau mungkin ada unsur kesengajaan karena terlihat sekali visual efek di G.I. Joe seperti animasi. Tapi Transformers pun ada film animasinya juga.


Saya suka karya Sommers sebelumnya, Deep Rising, The Mummy, Mummy Returns dan Van Helsing. Berharap merasakan ketegangan yang saya rasakan ketika menonton film-film tersebut. Tapi ternyata harapan saya hanyalah sebuah mimpi. Sebagai salah satu film yang saya antisipasi tahun ini, G.I. JOE sangat berhasil membuyarkan imajinasi saya tentang sebuah film yang bakal luar biasa di tangan Sommers. Well, Sommers not so summer this year.


Adegan aksi di film ini memang tersebar hampir sepanjang film. Bahkan semua adegan bisa dikategorikan action sequence. Sehingga cerita tidak menjadi kekuatan film. Untuk tidak mengurangi porsi adegan aksi yang ada, maka Sommers menceritakan background dari beberapa karakter lewat adegan flashback yang sejujurnya bisa dikatakan berhasil tetapi sayangnya tidak menambah nilai film ini.

Pace film ini cepat seperti yang Sommers lakukan dalam Van Helsing. Tapi adegan-adegan yang seru tidak menaikkan adrenalin penonton. Penonton (saya) seperti terdiam menatap layar tanpa berekspresi. Bahkan beberapa adegan yang dimaksudkan sebagai twist scene malah sudah tertebak sebelumnya.
Dengan senjata dan peralatan high tech, film ini tampil dengan dialog “low tech”. (Ingat Sommers, penggemar G.I. Joe itu sekarang sudah dewasa)

Ini film yang serba tanggung, hanya mengisi durasi dengan pameran adegan aksi yang tidak berjiwa. Mungkin sulit bagi Sommers mengisi karakteristik setiap tokoh yang terhitung banyak ini ke dalam sebuah film yang memang dikategorikan “film musim panas” (maksudnya hanya penuh ledak-ledakan, adegan aksi dan bujet mahal). Terbayang oleh saya, bagaimana beratnya beban yang ditanggung oleh sutradara pembuat Justice League (kalo memang film itu jadi diproduksi).


Setahu saya, dulu yang menjadi Duke adalah Mark Wahlberg. Entah kenapa sekarang beralih ke Channing Tatum. Body sih ok, tapi tampang bersedihnya ga ada waktu sahabatnya tewas. Malah dia tampil cool berkacamata hitam dalam setelan hitam di bawah guyuran hujan dan naik motor besar.
Marlon Wayans sebagai Ripcord, pada bagian tertentu cukup efektif sebagai badut. Meskipun tidak semua lawakannya lucu. (Dan jangan “takut” ini bukan film sejenis Scary Movie)
Ada ninja di film ini. Bahkan ada dua. Adegan aksi mereka biasa saja tapi cerita flashback mereka cukup menarik. Warna kostum mereka pun kontradiktif. Kostum putih – bad guy. Kostum hitam – good guy. Memakai aktor Lee Byung Hun cukup jitu untuk mewakili penonton Asia. Sayangnya saya jarang menonton film Korea jadi saya tidak tahu apakah Byung Hun ini aktor terkenal di Korea atau bukan.

Dennis Quaid sebagai General Hawk pun tidak bisa berbuat banyak, bahkan terlihat tidak berdaya disini. Entah apakah dalam serial aslinya, dia ahli dalam sebuah pertarungan atau tidak. Karena jelas disini, Hawk terlalu gampang untuk dipecundangi.

Pemanis film ini adalah persaingan antara Sienna Miller dan Rachel Nichols. Dua karakter yang berbeda. Satu ganas dan yang lain cerdas. Bisa dikatakan mereka cukup berhasil memerankan karakternya.

Jika anda menonton semua filmnya Sommers, maka akan banyak cameo dari bintang-bintang di film Sommers sebelumnya. Ada Brendan Fraser, Arnold Vosslo, Kevin J O’Connor.

Mungkin karena keterbatasan waktu atau karena memang bukan bagian itu yang ingin diekspos oleh filmaker. Proses masuknya Duke dan Ripcord dibuat sesingkat mungkin dan tidak semenarik mungkin. Padahal ini bisa menjadi bagian yang menarik dari film. Karena adegan rekrut-mengrekrut biasanya selalu menarik perhatian. Karena ini adalah awal sebuah karakter menjadi sesuatu yang lebih dari sebelumnya. Penonton biasanya menyukai hal itu.

Hampir menyerupai Transformers 2, pada peperangan di akhir film, sulit sekali menentukan mana lawan dan kawan. Bahkan lebih sulit lagi untuk mengkonsentrasikan pikiran pada film. Sekali lagi, penggemar G.I. Joe sudah beranjak dewasa, Bung Sommers. Adegan di Paris lah yang masih menyisakan semangat untuk terus menonton. Adegan aksi yang berlebihan bukanlah sebuah resep mujarab apabila tidak didukung oleh sebuah cerita yang bagus. Tidak selalu harus kompleks untuk membuat sebuah cerita yang menarik. Sebuah ide sederhana pun bisa menjadi sebuah film yang luar biasa jika diramu dengan cerdas.

Banyak yang mengatakan inilah the loudest movie of the year so far. Saya setuju dengan pernyataan itu. Desingan peluru kelas berat, ledakan yang luar biasa (walaupun tidak seluar biasa Terminator Salvation), “ocehan Ripcord” (maaf, ini hanya gurauan saja), adu pedang antar dua ninja. Saking bisingnya suara special efeknya, saya tidak memperhatikan iringan musiknya.

Tapi jangan khawatir, walaupun saya mengatakan film ini tidak luar biasa, bahkan cenderung biasa sekali. Banyak juga kok penonton lain yang sangat menyukai film ini. Itu kembali ke selera anda, bila anda menganggap Transformers 2 atau Terminator Salvation adalah film yang luar biasa, maka hampir pasti anda akan menganggap film ini pun demikian.

Friday, September 11, 2009

WATCHMEN (2009)

Genre : Action – Science Fiction

Directed by : Zack Snyder

Produced by : Lawrence Gordon, Lloyd Levin, David Barron

Starring : Patrick Wilson, Jackie Earle Haley, Jeffrey Dean Morgan, Billy Crudup, Malin Akerman, Carla Gugino, Matthew Goode

Written by : David Hayter, Alex Tse, (comic book) : Dave Gibbons, Alan Moore (uncredite)

Music by : Tyler Bates

Cinematography : Larry Fong

Edited by : William Hoy

Running time : 162 minutes

Budget : US$ 130 millions

Distributed by : WARNER BROS (USA), PARAMOUNT PICTURES (INTERNATIONAL)

Sulit untuk membuat film superhero yang bagus saat ini, karena ada standar baru yang tercipta untuk film bergenre ini. Dengan adanya The Dark Knight dan Ironman, seakan-akan muncul suatu tingkatan baru yang lebih tinggi dalam perfilman Hollywood, untuk membuat film manusia super.



Bagi penggemar komik Watchmen, mungkin bisa menikmati film garapan Zack Synder ini. Tapi bagi yang non fans, siap-siap saja untuk terkantuk-kantuk (waktu saya nonton, bahkan ada yang sudah keluar ketika film belum berakhir). Sisanya yang tidak keluar mungkin sudah tertidur pulas atau mungkin bertanya-tanya setiap saat kapan film ini akan berakhir. Tapi bagi yang menyukai film berat tentu akan sangat menikmati (termasuk saya). Betapa tidak adegan awal, kita akan disuguhi adegan perkelahian yang stylish dan brutal. Kemudian Opening title yang begitu memukau dengan iringan lagu yang menurut hemat saya, seperti menyindir para superhero dalam film ini. Intrik dan konflik yang tidak ringan membalut kisah para pensiunan ‘pahlawan’ ini.

Isu perang dingin antara Rusia dan Amerika mungkin sudah terlihat obsolete. Tapi disinilah tujuan cerita Watchmen. Menyindir sisi-sisi gelap Amerika seperti perang Vietnam dan lain-lain. Meskipun sebenarnya setting cerita film adalah alternative universe. Selain itu juga, motivasinya adalah mengolok-olok para superhero itu sendiri. Menunjukkan betapa mereka juga hanya manusia biasa. (Sebagai tambahan, saya menyebut ini adalah film superhuman bukan superhero). Terlihat juga dari kostum-kostum mereka yang bukannya terlihat gagah malah terlihat seperti badut. Konyol. Bahkan ada superhero yang dimasukan ke rumah sakit jiwa. Kembali lagi kenapa saya menyebut ini film superhuman karena hanya sedikit dari mereka yang memiliki kekuatan super. Bahkan mungkin hanya Dr. Manhattan yang punya kekuatan hebat. Jadi jangan mengharapkan adegan-adegan aksi spektakuler yang menampilkan kehebatan masing-masing karakter. Meskipun memang ada beberapa adegan aksi yang cukup keren yang melibatkan pertarungan tangan kosong.

Jika sebelumnya mungkin kita kebanyakan disuguhkan film-film superhero yang mengandalkan kehebatan atau kekuatan mereka. Disini kita diperlihatkan sisi humanisme dari para karakternya. Maksud saya disini adalah sisi gelap mereka, bukan bagian kepahlawanan mereka. Lihatlah betapa “jahat” dan sinisnya The Comedian (tetapi ini salah satu karakter favorit saya disini). Lalu betapa “cool” sang psikopat Rorschach (karakter favorit saya yang satu lagi). Juga karakter-karakter lain yang sudah pensiun dari urusan “superhero” mereka. Jadi mungkin ini yang menyebabkan beberapa penonton memilih pulang sebelum film berakhir. Mereka telah salah duga tentang film ini.

Apakah berarti film ini jelek? Itu tergantung dari apa yang ingin anda lihat. Menurut saya, film ini sangat menarik. Walau terlihat settingnya yang kuno tapi beban psikologis yang diberikan film ini sangat menarik untuk diikuti. Juga adegan-adegan flashback yang sangat ‘enak’ untuk ditelusuri. Ditambah lagu-lagu oldies yang pas (dimana perasaan saya tergugah oleh lagu The Sound of Silence). Bahkan endingnya pun cukup mengejutkan kesadaran kita. What kind of superhero are they?

Snyder sangat pintar dalam membuat visualisasi film ini menjadi sangat indah. Hmm..indah tampaknya bukan kata yang tepat, karena film ini tidak indah. Banyak adegan mengerikan dan sadis yang muncul, terlalu realistis malah. Enak dilihat, tidak juga. Dr. Manhattan malah terlihat bugil jika tidak dibalut oleh cahaya biru. Mungkin saya bisa katakan film ini dark tapi bukan berarti film ini bertabur kegelapan malam. Cerita yang diusung sangat satir. Beban mental yang dialami oleh superhero yang diekspos tinggi-tinggi. Tidak banyak yang menyukai cerita seperti ini jika tidak diimbangi action sequence yang porsinya cukup banyak. Itulah mungkin salah satu ‘kekurangan’ film ini. Jika anda bisa bertahan sampai akhir film maka anda akan terhenyak menyaksikan tindakan yang sudah dilakukan oleh para jagoan.

Jika anda terpuaskan dengan visualisasi 300 yang benar-benar memukau, maka hal itu sedikit berkurang disini. Ini bukan film dengan pameran visual efek, tapi visual efek disini hanya sebagai penunjang film. Karena bukan itu inti dari film Watchmen. Penantian yang lama di bioskop terbayarkan ketika saya menonton film ini. Inilah salah satu film favorit saya tahun 2009 ini. Hanya sayang, film ini tidak termasuk laku. Dengan bujet yang cukup besar, film ini sementara baru mengumpulkan US$ 107 juta di Amerika dan baru US$ 77 juga di luar Amrik. Di kota saya pun, setelah lama baru diputar tapi cepat menghilang pula.

Friday, August 14, 2009

HARRY POTTER AND HALF BLOOD PRINCE (2009)

Genre : Action – Science Fiction

Directed by : David Yates

Produced by : David Heyman, David Barron

Starring : Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint, Michael Gambon, Jim Broadbent, Alan Rickman, Tom Felton, Helena Bonham-Carter

Written by : Steve Kloves (Screenplay), J.K. Rowling (novel)

Music by : Nicholas Hooper, John Williams (themes)

Cinematography : Bruno Delbonnel

Edited by : Mark Day

Running time : 153 minutes

Budget : US$ 250 millions

Distributed by : WARNER BROS

All you need is love. Bahkan wizard paling terkenal seperti Harry Potter pun butuh cinta. Yang paling mencolok dalam film ini dibandingkan dengan semua seri Harry Potter selama ini adalah kisah cinta para karakter utamanya. Menarik karena setelah sekian lama, mereka akhirnya naik ke jenjang yang lebih dewasa. Hal ini masih menjadi menarik sampai pada adegan yang terlalu berlebihan porsinya dalam hal percintaan mereka. Cukuplah kuantitasnya dikurangi sedikit. Sehingga porsinya bisa ditambahkan untuk adegan aksi yang sangat diinginkan oleh para penonton. Tapi sayangnya hal itu tidak menjadi kenyataan. Banyak yang mencela film ini karena kurangnya adegan aksi yang menegangkan. Banyak juga yang mengatakan bahwa film ini terlalu melenceng dari novelnya.

Maafkan saya. Ketika membuat review ini saya baru baca novel jilid pertama sampai empat. Jadi mungkin kata-kata saya ada yang tidak bisa diterima oleh para pecinta Harpot. Sekali lagi saya minta maaf.

Yang sangat terasa adalah nuansa remaja dan nuansa misteri yang terasa berkurang. Dimana sebelumnya, setiap judul film merupakan misteri yang terselubung. Sehingga bagi penonton muggle (yang belum membaca bukunya) penasaran dengan misteri tersebut. Namun setelah Order of Phoenix, nuansa misteri itu sirna. Bahkan disini pun saya jamin, bahwa anda tidak akan merasa terlalu bertanya-tanya siapa itu Half Blood Prince. Karena memang Yates tidak terfokus pada hal itu. Dia terfokus untuk membuat sebuah film yang menjembatani para penonton untuk menuju final dari serial Harry Potter.

Setelah di film-film sebelumnya, Severus Snapes dan Draco Malfoy hanya sebagai peran pembantu saja. Snapes dan Malfoy memegang peranan penting kali ini. Bahkan Tom Felton pemeran Malfoy bisa menggambarkan perubahan sikapnya yang menjadi penyendiri dan menyimpan rasa dendam yang membara. Suasana hatinya ini dibantu oleh visual yang baik oleh Yates. Di atas semuanya mungkin bisa dikatakan film ini adalah duet antara Harry dengan Dumbledore. Disini Dumbledore seakan-akan sudah menetapkan hati, memilih Harry untuk melawan Voldemort.
Sedangkan Ralph Fiennes absen dulu. Perannya digantikan oleh keponakannya Hero Fiennes Tiffin sebagai Voldemort waktu masih kecil lalu Frank Dillane memerankan Voldemort waktu berumur belasan. Dengan senyuman dan pandangan matanya yang menjanjikan kehausan akan ilmu hitam.

Serial Harry Potter menginjak dewasa. Well, iyalah. Setelah enam tahun, otomatis mereka beranjak dewasa. Percintaan Harry dan Ginny. Kecemburuan Hermione kepada Ron. Semua hal ini merupakan babak baru dalam serial Harry Potter dan membawa nafas baru yang cukup mengasyikan untuk dihirup. Dengan bobot yang cukup, bagian ini bisa membuat film sangat menarik. Tapi ketika porsinya ditambah sehingga terlalu berlebihan, malah membuat penonton sedikit muak akan hal ini. Sayang sekali.

Sebenarnya saya kecewa dengan Order of Phoenix. Maka saya agak sedikit waswas ketika Yates ternyata menggarap film Harpot berikutnya. Namun ketakutan saya akan film ini sedikit berkurang. Karena kini di tangan Yates, special efek hanya menjadi sekedar tempelan yang melatarbelakangi kisah drama yang semakin kelam. Dan untuk Half Blood Prince, ramuan ini sangat pas dan mengena di hati. Sehingga saya menambahkan film ini ke daftar film Harry Potter favorit saya setelah Prisoner of Azkaban dan Goblet of Fire.

Yang saya suka dari Half Blood Prince adalah gerak kameranya yang sangat pas dengan setiap adegan. Bahkan saking pintarnya, gerak kamera dan angle kamera bisa membantu penambahan nilai adegan dan suasana hati para karakternya. Adegan di The Burrow ketika Ron dan Hermione menyambut Harry dengan angle diambil dari bawah lalu masing-masing karakter menampakkan diri menyapa Harry, sungguh pandai dan lucu menurut saya. Walaupun adegan aksinya sedikit sekali. Tapi saya cukup menikmati adegan aksi yang ada. Seperti ketika Ginny menyusul Harry mengejar Death Eaters. Lalu adegan jembatan di awal film cukup menggetarkan. Juga permainan Quiditch yang tampak begitu gagah (di luar kekonyolan Ron disini tapi konyol dalam arti positif). Dalam porsi yang tidak banyak tapi berbobot.

Durasi film termasuk lama. Banyak yang bilang film ini bertele-tele. Tapi anehnya saya lebih menikmati film ini, dibandingkan dengan Transformers 2 yang harusnya lebih menyenangkan dengan pameran spesial efeknya yang luar biasa plus adegan aksi yang dahsyat. Mungkin anda akan berpendapat lain dengan saya. Ya itu memang masalah selera. Tidak bisa dipaksakan. Tolong jangan memarahi saya karena saya lebih suka film ini.

Tapi yang harus kita terima bahwa Harry Potter dan kawan-kawan sudah beranjak dewasa sehingga filmnya pun menuju ke arah yang sama sehingga kini Harry Potter bukanlah film untuk anak-anak lagi. Semakin hari, film Harry Potter semakin gelap dan kelam. Disini pun, hampir bisa dikatakan sedikit warna yang ada. Tapi ironisnya, bisa dikatakan ini film Harry Potter yang banyak mengundang tawa. Sangat kontradiktif tapi mungkin ini bertujuan untuk membuat pikiran penonton sedikit rileks bukannya terbawa stress karena tone film ini.

Dengan kabar yang tersiar bahwa Deathly Hallows dibagi menjadi dua bagian. Maka harap bersabar untuk menunggu akhir dari serial Harry Potter yang jadi lebih tertunda. Dan berharaplah bahwa Yates bisa membuat film Harry Potter yang sesuai dengan keinginan para fansnya dan juga yang bukan fans. Meskipun itu mungkin bukan tugas yang mudah untuk Yates.

Monday, July 20, 2009

TRANSFORMERS : REVENGE OF THE FALLEN (2009)

Genre : Action – Science Fiction

Directed by : Michael Bay

Produced by : Steven Spielberg (executive producer), Lorenzo di Bonaventura, Ian Brcye, Tom DeSanto, Don Murphy

Starring : Shia LaBeouf, Megan Fox, Josh Duhamel, Tyrese Gibson, John Turturro

Written by : Roberto Orci, Alex Kurtzman, Ehren Kruger

Music by : Steve Jablonsky, Linkin Park

Cinematography : Ben Seresin

Edited by : Roger Barton, Paul Rubbel, Joel Negron, Thomas Muldoon

Running time : 150 minutes

Budget : US$ 200 millions

Distributed by : PARAMOUNT PICTURES

Jika anda mempunyai khayalan waktu kecil mengenai mainan robot anda yang bisa bergerak leluasa atau mungkin berkelahi dengan robot lain. Transformers adalah salah satu visual nyata dari khayalan anda ditambah bonus, robot anda bisa berubah menjadi benda lain. Dimulai dari berupa mainan robot keluaran Hasbro. Difilmkan dalam live action oleh Michael Bay pada tahun 2007 dengan executive producer-nya Steven Spielberg. Dengan bujet US$ 150 juta menghasilkan kurang lebih US$ 709 juta di seluruh dunia. Dengan crew dan pemeran yang hampir sama dengan film pertamanya dibantu dengan tambahan bujet menjadi US$ 200 juta, Bay melanjutkan sekuelnya dengan judul tambahan Revenge of The Fallen.

Apa perbedaannya dengan film yang pertama? Yang pasti lebih banyak adegan aksi, ledakan lebih besar, robot lebih banyak. Sayangnya kini Megatron (pengisi suara Hugo Weaving) hanya menjadi pembantu seorang robot yang bernama The Fallen (pengisi suara Tony Todd). Ya, penampilannya mirip Predator dalam bentuk raksasa dan badannya berbalut metal. Inilah musuh yang harus dihadapi oleh para Autobots, yang mana BumbleBee dan Ironhide hanya sebagai peran “pembantu”. Nothing more. Disini Optimus Prime lebih berperan dan lebih terlihat hidup dari sebelumnya.

Disini saya suka dengan karakter Lennox, walaupun lebih banyak beraksi di Transformers pertama. Disini karakternya lebih kokoh dari yang pertama. Hanya sayang tidak diberi gerak lebih oleh Bay (atau skenario). Mungkin untuk film selanjutnya, bisalah tokoh Lennox ini diberi peran yang lebih besar, karena tokoh Sam ini sudah terlalu diforsir sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi yang dapat kita lihat dari karakter satu ini. Mudah-mudahan Bay membaca tulisan saya lagi, karena salah satu komentar saya untuk film yang pertama adalah terlalu cepatnya adegan pertarungan antar robot sehingga tidak terlihat jelas bagaimana gerakan mereka dan hal itu diperbaiki oleh Bay dalam sekuelnya ini. Banyak adegan slow motion pada pertarungan antar robot.

Sebenarnya hanya ada beberapa adegan dalam film ini yang membuat saya berkesan. Pesan saya, jangan sampai telat masuk ke dalam bioskop, karena adegan awal di Shanghai termasuk adegan yang menarik. Adegan satu lagi adalah pertarungan Optimus Prime dengan tiga robot dari Decepticons. Adegan ini mengingatkan saya dengan Hulk ketika bertarung dengan tiga anjing raksasa.

Jika anda penggemar Bay, pasti anda sangat mengetahui trademarknya Bay. Antara lain ; slow motion, adegan pesawat atau helikopter dengan background matahari, pergantian adegan tiap beberapa detik, kamera berputar dengan poros salah satu karakter atau dua karakter. Selain itu Bay senang bermain dengan pergerakan kamera dalam mengambil adegan. Terus terang, sebenarnya banyak yang sudah bosan dengan trademark Bay tapi disini menurut saya inilah yang membantu saya untuk tetap bertahan menonton film ini. Jika anda penggemar adegan aksi yang penuh ledak-ledakan, anda pasti tidak akan mengalami kejenuhan seperti saya. Mungkin durasi film yang terlalu panjang adalah salah satu faktor penyebabnya.

Ternyata dengan menambah jumlah berat metalik (tambahan jumlah robot maksudnya) tidak membuat film ini menjadi lebih baik.
Megatron pun tidak terlihat segarang waktu film pertama. Mungkin ini bukan tentang dia tapi The Fallen pun tidak terlihat kemampuan aksinya yang hebat.
Sudah menjadi sedikit trend di Hollywood dimana karakter yang kecil sering terhimpit di tengah-tengah pertarungan karakter-karakter yang lebih besar dengan tujuan untuk membuat penonton menahan napas. Hal ini dapat kita lihat dalam film Jurassic Park terutama yang ketiga. Lalu ketika Kingkong berkelahi dengan T-Rex dimana Naomi Watts berada di tengah mereka. Di film ini bisa kita temui dimana Sam berada ditengah-tengah pertarungan antara Optimus dengan tiga robot lain di hutan.

Pupus sudah harapan saya bahwa film sekuel Transformers ini akan menjadi salah satu film favorit saya tahun 2009 ini. Bolehlah (sampai saat ini), film ini merupakan pengumpul dolar terbanyak tahun ini, tapi menurut saya pribadi, film ini tidak pantas menjadi film paling laku tahun ini. Walaupun mungkin anda akan terpesona dengan segala kecanggihan yang terlihat pada layar, ledak-ledakan yang menggelegar di kuping anda yang membuat pandangan anda tidak pernah lepas dari layar. Sedangkan saya (pandangan sih memang tidak pernah terlepas dari layar) merasakan kejenuhan dan kebosanan akan tontonan yang diberikan Bay kali ini. Durasi film yang harusnya bisa lebih dipersingkat dengan memasukkan adegan-adegan yang perlu saja. (Bay, anda tidak perlu harus selalu memasukkan adegan-adegan lucu di tengah-tengah adegan tegang) Beruntunglah kalau itu memang adegan yang mengundang gelak tawa. Saya hanya tertawa ngakak ketika Leo, teman sekamarnya Sam, tersengat listriknya sendiri. Adegan lainnya hanya mampu membuat saya nyengir kuda dan adegan ‘lucu’ itupun segera terlupakan.

Sejujurnya tidak adil bila saya mengatakan bosan dengan film ini. Sekali lagi saya bilang, adegan awal di Shanghai cukup menggetarkan. Rusak-merusak sebuah kota merupakan ‘keahlian’ Bay. Dia punya jam terbang yang banyak untuk adegan seperti ini. Tidak banyak sutradara yang bisa ‘sekelas’ Bay dalam meramu adegan sejenis. Pertarungan tiga lawan satu di hutan (memang tidak orisinil) tapi dapat membuat saya berdecak kagum dan merasakan semangat Transformers yang sesungguhnya. Sisanya hanya adegan-adegan yang memperpanjang durasi film dan cuma memberikan kesempatan pada robot-robot lain untuk sedikit memperlihatkan sosoknya tanpa peran yang berarti. Bahkan mungkin anda akan sedikit bingung mana pihak lawan atau kawan. Dan ada beberapa robot yang bergabung menjadi sebuah robot besar yang mampu mengisap segala sesuatu di sekelilingnya. Robot ini adalah bintang tamu yang sangat istimewa sebenarnya. Tapi… (tonton sendiri saja deh).

Lupakan jalan ceritanya jika anda menonton film ini. Nikmati saja kemegahan special efek di film ini yang benar-benar dimanfaatkan sedemikian rupa sepanjang film ditambah adegan-adegan aksi yang memang benar-benar eye-candy. Jika anda bisa melakukan hal itu, maka anda akan merasa terpuaskan dengan film ini. Mungkin anda tidak akan merasa jenuh seperti saya. Bahkan mungkin anda akan tergoda untuk menontonnya sekali lagi, lagi dan lagi, terutama untuk para penonton pria. (iya bro, katanya Megan Fox adalah CGI terbaik dari film ini, hehe)
Akhir kata, mungkin ini adalah film terlaris Michael Bay tapi sayangnya bukan yang terbaik.

Thursday, July 2, 2009

PUSH (2009)

Genre : Action – Science Fiction

Directed by : Paul McGuigan

Produced by : Bruce Davey, William Vince, Glenn Williamson

Starring : Chris Evans, Dakota Fanning, Camilla Belle, Djimon Hounsou

Written by : David Bourla

Music by : Neil Davidge

Cinematography : Peter Sova

Edited by : Nicolas Trembasiewicz

Running time : 111 minutes

Budget : US$ 38 millions

Distributed by : SUMMIT ENTERTAINMENT

Sebenarnya Push mempunyai peluang yang bagus tahun ini karena sedikitnya film yang bertemakan super hero yang muncul. Tapi sayangnya hal ini tidak ditunjang oleh skenario film yang bagus. Temanya tidak diambil dari komik walaupun memang masih mengikuti trend X-Men atau mungkin serial Heroes (tapi menurut kabar sebenarnya proyek ini ada sebelum serial Heroes muncul).

Sebenarnya saya menyukai film dengan banyaknya karakter. Namun sayangnya film ini tidak memberikan waktu lebih untuk para penonton mendalami masing-masing karakter.

Disini kita diperkenalkan dengan istilah-istilah seperti Watchers (peramal), Movers (Pemindah benda dengan kekuatan pikiran), Pushers (yang bisa mempengaruhi pikiran orang lain), Shifters (yang bisa mengubah bentuk benda) dan banyak lagi yang lain. Sebenarnya dengan adanya Pushers ini , cerita berpeluang untuk menjadi bertambah rumit dan bisa mengarah ke berbagai sisi yang diinginkan oleh pembuat cerita sehingga menjadi lebih menarik. Tapi sayangnya hal ini tidak dilakukan. Adanya bermacam-macam twist tidak membuat film ini menjadi lebih baik. Hal-hal seperti itu dibiarkan begitu saja lewat. Bukannya meng “PUSH” penonton menikmati film ini malahan membuat penonton bingung dan berpikir keras sampai akhir film.
Sebenarnya klimaks film ini bisa sangat menarik dimana Nick berusaha mengecoh Watcher pihak musuh tidak bisa memprediksi masa depan. Tapi sekali lagi sayangnya sang sutradara, Paul McGuigan tidak bisa mengelola ini menjadi adegan yang menarik untuk diikuti.

Sebenarnya karakter Nick Grant (seorang movers amatiran) yang diperankan oleh Chris Evans disini lebih menarik dibandingkan dengan Johhny Storm dalam Fantastic Four. Sama-sama memiliki kekuatan khusus tapi dengan segala kekurangannya sebenarnya tokoh Nick bisa menarik simpati penonton.

Dakota Fanning berperan sebagai Cassie, disini diceritakan memiliki kemampuan sebagai Watcher (sayangnya kemampuannya ini tidak dimiliki dalam kehidupan nyata sehingga Fanning mau-maunya ambil peran dalam film ini). Memang disini Fanning terlihat lebih dewasa dengan pakaian dan gaya rambutnya. Tapi tidak lebih. Hanya itu yang didapat penonton dari karakter yang dimainkannya. Kata-katanya tentang ramalan kematian para tokoh protagonis tidak membuat kita merasa ikut khawatir dengan nasib para tokoh yang bersangkutan. Juga perhatikan adegan ketika dia mabuk untuk bisa melihat masa depan lebih jelas. Ada apa dengan adegan ini? Apakah dia bermaksud melucu? Tapi Setidak-tidaknya saya tertawa dengan lelucon tentang buah olive.

Camille Belle sebagai Kira pun tidak bisa berbuat banyak padahal dialah tokoh sentral di film ini. Untunglah wajahnya masih membuat segar mata penonton untuk terbuka setidaknya sampai pertengahan film.

Djimon Honshou adalah Henry Carver, seorang pushers seperti Kira. Dialah yang ada dibalik Division yang mengejar-ngejar Kira dengan tas-nya yang diincar oleh banyak pihak. Perlu saya ingatkan, tas ini hanya sekedar alasan untuk semua pihak di film ini untuk mengejarnya. Penonton tidak dibuat penasaran dengan apa isi tas itu. Rasa penasaran itu hanya muncul di awal film dan kemudian menghilang sampai batas penonton tidak peduli lagi dengan isinya. Mengenai aktingnya disini Djimon sangat biasa sekali.

Bila anda berpikiran film ini adalah versi lebih baik dari serial Heroes, well, silakan anda menonton film ini. Tapi bersiap-siaplah untuk kecewa karena nonton film ini seperti makan permen karet. Dimana lama kelamaan permen itu terasa hambar. Mungkin menurut perkiraan anda, setidak-tidaknya adegan aksinya patut dilihat. Hmm, maafkan saya jika saya berkata jujur bahwa adegan aksinya tidak terlihat spektakuler bahkan sangat biasa sekali. Film ini seperti drama ringan tentang manusia yang memiliki kemampuan khusus dengan dibalut sedikit adegan aksi yang biasa saja. Bagaimana dengan twistnya? Memang ada beberapa twist tapi anda tidak akan merasa terbawa oleh twist itu. Hanya sekedar sebagai pelengkap cerita saja. Ditambah banyaknya dialog-dialog yang hanya sekedar diucapkan oleh para karakter tanpa diikuti oleh penjelasan dalam film.

Entah apa yang salah dengan film ini? Idenya yang sudah membosankan sejak adanya X-Men, Heroes atau mungkin Sky High? Atau skenario cerita yang tidak berkembang? Atau akting pemainnya yang standar? Atau sang sutradara kurang bisa meramu semuanya menjadi tontonan yang menarik? Bahkan yang lebih parah, ada yang berkomentar bahwa tolong bawa seorang wiper (yang bisa menghapus memori) ke hadapannya untuk menghilangkan ingatannya tentang film ini. Sebegitu parahkah film ini?
Jangan terlalu diperhatikan kata-kata di atas, semua ini kembali lagi berpulang kepada anda setelah anda menonton film ini.

Satu-satunya yang membuat saya tertarik adalah pengambilan background kota Hongkong, daerah padat dengan gedung-gedung modern dan munculnya credit title di penghujung film (menandakan film sudah berakhir). Well, sebenarnya saya sedikit berbohong. Saya suka adegan ketika Nick menodongkan pistol melayang ke hadapan Carver setelah sebelumnya pistolnya melayang di langit-langit restauran. Memang mengingatkan saya akan adegan ketika Magneto menodongkan pistol ke semua polisi di X-Men pertama. Hanya disini diperlihatkan seakan-akan pistol itu dipegang langsung oleh Nick dan ketika Nick ragu, pistol itu pun ikut bergetar mengikuti keraguan Nick.

Sunday, June 21, 2009

TERMINATOR SALVATION (2009)

Genre : Action – Science Fiction

Directed by : McG

Produced by : Derek Anderson, Viktor Kubicek, Jeffrey Silver, Moritz Borman

Starring : Christian Bale, Sam Worthington, Anton Yelchin, Moon Bloodgood, Bryce Dallas Howard, Helena Bonham Carter

Written by : John Brancato, Michael Ferris

Music by : Danny Elfman

Cinematography : Shane Hurlbut

Edited by : Conrad Buff

Running time : 115 minutes

Budget : US$ 200 millions

Distributed by : COLUMBIA PICTURES (Internasional), WARNER BROS (US)


Jika anda mengikuti saga Terminator, pasti anda mengenal tokoh yang bernama John Connor. Pemimpin kelompok Resistance yang memimpin sisa-sisa umat manusia melawan para robot. Dalam Terminator dan Terminator 2 : Judgment Day, diceritakan bagaimana para mesin kembali ke jaman sekarang untuk mencegah agar John Connor tidak jadi pemimpin di masa yang akan datang. Terminator 1 mengarah pada Sarah Connor sang ibu. Lalu pada Terminator 2, yang menjadi sasaran adalah John Connor waktu masih remaja. Tapi baru di Terminator 3 : Rise of the Machines, diceritakan bagaimana awal mula mesin mengambil alih dan nuklir meledak dimana-mana. Enam tahun setelah film terakhir keluar, muncullah kini installment terbarunya yang diberi judul Terminator Salvation dan disutradarai oleh McG (sutradara dwilogi Charlie’s Angels dan We Are Marshall). Sebenarnya banyak yang meragukan hasil akhir film ini di tangan McG. Kita lihat pendapat anda setelah menonton salah satu film summer blockbuster tahun ini yang diramalkan menjadi salah satu pesaing Transformer 2 : Revenge of the Fallen.

Ide cerita lebih ambisius dari Terminator 3 yang masih mengikuti formula Cameron, dengan cerita yang ditulis oleh (dalam credit title) tertulis nama John Brancato dan Michael Ferris tapi ternyata dipoles lagi oleh Jonathan Nolan dan Paul Haggis.
Di awal film, anda akan terpuaskan dengan gambaran McG dengan situasi sesudah Judgment Day. Adegan awal yang digambarkan sedikit abu-abu cukup membuat suasana after Judment Day terasa. Kegersangan dan kekerasan akibat perang dengan mesin yang berkesinambungan terlihat di layar. Long take yang dipilih oleh McG pun cukup lumayan.

Salah satu kelebihan Salvation ini adalah ledakan-ledakan dahsyat yang melebihi tiga seri sebelumnya. Dan ukuran robot-robotnya yang besar dan lebih bervariasi. Tapi sayang tidak diimbangi dengan cerita yang lebih “besar”. Sehingga TS hanyalah sekedar pameran aksi ledak-ledakan dan robot-robot besar mengikuti Transformer.
Adegan aksi di film ini cukup intense walaupun menurut saya agak sedikit membosankan di akhir film, tapi film ini sudah menyuguhkan adegan-adegan aksi khas summer movies. Sebenarnya bisa dibilang ide film ini hanya secuil kecil dari kepingan-kepingan cerita Terminator Saga, hanya dipoles sedemikian rupa dengan adegan-adegan aksi dan ledakan-ledakan dahsyat untuk menambah durasi film.


Hilangnya konsep mesin waktu dan satu musuh yang sulit untuk dikalahkan membuat film ini tidak seperti film Terminator yang lain. Bahkan musuhnya disini kebanyakan tanpa wajah.
Ada yang mengatakan bahwa villain di film ini justru kurang kuat padahal banyak jenis robot yang diperkenalkan di film ini. Dan memang benar dengan banyaknya variasi robot justru musuh di film ini tidak terfokus atau lebih universal.

Bale berhasil memperlihatkan kepada penonton bahwa dia lelah berperang dengan mesin. Walaupun suaranya mengingatkan kita akan Batman, tapi mimik mukanya menunjukkan dia lelah berperang dengan mesin dan ingin segera mengakhirinya. Tapi dia tidak terlihat seperti “manusia biasa” disini dibandingkan dengan Edward Furlong (pemeran John Connor di Terminator 2) bahkan oleh Nick Stahl (pemeran John Connor di Terminator 3) sekalipun juga.

Kehadiran Marcus yang diperankan oleh Sam Worthington justru yang membuat film ini menarik dibandingkan dengan penampilan Bale. Tapi ironisnya menurut saya, justru kehadiran Marcus ini jugalah yang membuat film ini sedikit tidak “nyambung” dengan seri-seri sebelumnya. Ada yang mengatakan bahwa karakter Marcus lebih human dari John Connor. (sebagai tambahan, inilah kedua kalinya penampilan Bale dicuri, sebelum ini oleh Heath Ledger dalam The Dark Knight). Bryce Dallas Howard sebagai pengganti Claire Daines disini. Sebenarnya karakter ini bisa lebih dimaksimalkan daripada hanya sebagai background dari Bale.
Linda Hamilton (pemeran Sarah Connor di T1 dan T2) menyumbangkan suaranya disini dalam tape yang didengar oleh John.

Mungkin ada yang bertanya kenapa wajah Arnold ditampilkan muda dalam film ini dengan menggunakan CGI. Well, ini karena ceritanya menyambung ke T1 dimana itulah robot yang dikirimkan oleh Skynet ke masa Sarah Connor. (yang dimainkan oleh Arnold waktu masih muda) Justru disini McG memperlihatkan kesinambungan cerita dengan serial Terminator.

Well, inilah yang terjadi jika uang yang berbicara. Terminator 2 merupakan film Terminator yang terbaik. James Cameron sudah membuat sebuah sekuel yang lebih baik. Dan ternyata muncullah Terminator 3 (tapi patut saya akui, saya suka endingnya). Dan kini McG (Terminator dan Terminator 2 termasuk film favoritnya) membuat sekuel atau bisa dibilang prekuel. Sebenarnya idenya cukup menarik karena mungkin kita (saya) berantusias untuk melihat bagaimana sebenarnya kondisi manusia berperang melawan mesin, yang dimana selama ini hanya diperlihatkan sekilas di film-film sebelumnya. Hanya sayang tidak dikembangkan dengan baik sehingga saya tidak mendapatkan apa-apa kecuali adegan kejar-kejaran, ledak-ledakan, gebuk sana gebuk sini, ledak-ledakan lagi, robot-robot raksasa, ledak-ledakan lagi, tembak-tembakan, ledak-ledakan lagi. Membosankan.

Jadi saran saya, jika anda hanya ingin mencari film full aksi semata maka Salvation ini sangat cocok untuk anda. Tapi jika anda ingin mencari film yang jalan ceritanya bagus dan enak ditonton atau anda tidak ingin merusak “terminator mood” anda, saya tidak terlalu merekomendasikan film ini.
Oh satu lagi saran saya, sebaiknya anda menonton tiga film sebelumnya terlebih dahulu sebelum menonton film ini.

“I’ll be Back” (well, I hope not)

Wednesday, June 3, 2009

ANGELS AND DEMONS (2009)

Genre : Drama - Thriller

Directed by : Ron Howard

Produced by : Brian Grazer, John Calley

Starring : Tom Hanks, Ayelet Zurer, Ewan McGregor, Stellan Skarsgard, Armin Muehler-Stahl

Written by : David Koepp, Akiva Goldsman; Dan Brown (novel)

Music by : Hans Zimmer

Cinematography : Salvatore Totino

Edited by : Daniel P. Hanley, Mike Hill

Running time : 138 minutes

Budget : US$ 150 millions

Distributed by : COLUMBIA PICTURES, SONY PICTURES

Setelah The Da Vinci Code kini kembali novel karya Dan Brown difilmkan. Masih dengan tokoh utama Robert Langdon. Walaupun sebenarnya novel Angels and Demons lebih dulu keluar daripada Da Vinci Code tapi filmnya mengambil kisah sesudah Da Vinci Code. Masih ditangani oleh sutradara Ron Howard, kini film mengambil lokasi di Vatikan dengan cerita kematian Paus ditambah dengan penculikan empat kardinal. Keadaan bertambah rumit karena masing-masing kardinal akan dibunuh tiap satu jam. Dan klimaksnya, Vatikan akan diledakkan dengan bom. Tapi anda tidak perlu khawatir untuk menonton Da Vinci Code dulu sebelum menonton film ini karena ceritanya tidak saling terkait. Dan bila dibandingkan dengan Da Vinci Code, film ini tidak banyak menampilkan dialog-dialog yang panjang.

Film dimulai dengan iringan musik yang agak sedikit berubah dan lebih cepat dari film sebelumnya. Hal ini sudah memberi kesan bahwa pace film ini akan berlangsung cepat. Dan memang anda akan disuguhi adegan-adegan yang cepat sehingga anda tidak diberi waktu untuk beristirahat karena dari teka-teki yang satu langsung menuju ke teka-teki yang lain. Seperti menonton National Treasure-nya Nicolas Cage, hanya di film ini lebih bersifat relijius.

Ada tiga hal yang membuat saya menyukai film ini. Yang pertama adalah music score-nya yang sangat mendukung, sehingga meningkatkan nilai ketegangan film. Yang kedua adalah betapa indahnya gedung-gedung yang terekam oleh kamera. (mungkin salah satu propaganda pariwisata). Kerja hebat dari production designer, Allan Cameron. Dan yang terakhir adalah betapa cerdasnya Howard dalam menggambarkan keadaan Vatikan dan agama Katholiknya sehingga penonton bisa mencerna segala sesuatu tanpa mengerutkan kening. (saya belum baca novelnya) Dan tambahan keterangan yang perlu dimasukkan dengan ‘sukarela’ diutarakan oleh Langdon tanpa ditanya oleh pihak yang bersangkutan.

Sebenarnya pemecahan teka-teki disini sudah berkurang keasikannya ditengah film karena sudah tertebak solusinya. Namun Howard berhasil menyuguhkan hal lain ketika saya agak sedikit bosan. Walaupun ada beberapa karakter yang memang dihadirkan agar menjadi calon “tersangka” yang dikira-kira oleh penonton. Tipikal film dengan tema sejenis. Namun Howard berhasil menyimpan misteri sampai penghujung film. Hanks bermain lebih ceria dan lebih enerjik disini. Entah itu karena pengaruh model rambutnya yang baru atau karena disini dia tidak menjadi buronan. Tapi sayang aktingnya bukan kualitas Oscar disini. Dan ini adalah sekuel pertama hasil kerja sama antara Hanks dengan Howard. Setelah sebelumnya mereka pernah bekerja sama dalam Splash, Apollo 13. Ewan berhasil memerankan seorang camerlengo yang kalem tutur katanya dan emosi yang tersimpan dengan baik.
Ayelet sebagai seorang ilmuwan, terlihat hanya sebagai pelengkap Langdon untuk menyusuri jalan-jalan di Vatikan. Tapi ada yang mengatakan bahwa ini seperti film Seven-nya Brat Pitt dimana para tokoh utama mencari dari korban yang satu ke korban yang lain.

Sekali lagi, salut untuk Hans Zimmer dengan aransemen musiknya yang menurut saya memberi ‘jiwa’ dalam film ini. Menambah ritme film. Juga untuk Salvatore sebagai peñata kamera dengan ‘gambar’ indah dan artistik gedung-gedung di Vatikan.

Banyak dialog yang membuat saya tertarik dengan film ini. Seperti percakapan Langdon dengan Camerlengo pertama kali. Dan juga percakapan akhir antara Langdon dengan Kardinal Strauss. Sangat mengena sekali. Dan sekali lagi, Howard dengan praktis, bisa memberikan pengertian kepada penonton tentang seluk beluk Vatikan tanpa membuat penonton terbingung-bingung. Bravo, Howard! Dijamin, setelah anda menonton film ini, pasti anda akan mendapatkan sedikit pengetahuan tentang Vatikan, diluar anda puas atau tidak dengan film ini.

Sebagai tambahan, perhatikan huruf-huruf yang membentuk kata-kata seperti illuminati, air, fire, earth dan water. Dan apakah anda setuju jika science dan religion bisa disatukan?

Tuesday, May 19, 2009

X-MEN ORIGINS : WOLVERINE (2009)

Genre : Action - Fantasy – Science Fiction

Directed by : Gavin Hood

Produced by : Hugh Jackman, Lauren Shuler Donner, Ralph Winter, John Palermo

Starring : Hugh Jackman, Liev Schreiber, Danny Huston, Dominic Mognahan, Ryan Reynolds

Written by : David Benioff, Skip Woods

Music by : Harry Gregson-Williams

Cinematography : Donald McAlpine

Edited by : Nicolas De Toth, Megan Gill

Running time : 107 minutes

Budget : US$ 150 millions

Rated : PG – 13 (for intense scenes of action/violence and partial nudity)

Distributed by : 20TH CENTURY FOX


Pada tahun 2000, Sutradara Bryan Singer membesut film X-Men dan berhasil meraup penghasilan US$ 296 juta di seluruh dunia. Dilanjutkan dengan X2 : X-Men United yang meraih total pendapatan US$ 407 juta. Beralih ke tangan sutradara Brett Ratner, X–Men : The Last Stand berhasil mendapatkan US$ 459 juta. Dari trilogi X-Men ini, nama Hugh Jackman terkenal sebagai Wolverine. Dan kini, 3 tahun setelah peluncuran installment terakhir. Muncullah kisah baru yang khusus menceritakan asal mula Wolverine. Disutradarai oleh Gavin Hood, yang pernah menjadi aktor dalam beberapa film dan pernah menyutradarai Rendition (2007) yang dibintangi oleh Reese Witherspon dan Jake Gyllenhaal.


Bercerita awal mula kehidupan Wolverine sampai dia menggunakan nama tersebut dan bagaimana dia memiliki cakar adamantium. Jadi bisa dibilang ini adalah sebuah prekuel. Kelemahan dari sebuah prekuel adalah penonton sudah mengetahui sebagian kisah dari sebagian karakter di masa yang akan datang. Maka jika tidak diramu dengan baik maka akan menjadi bumerang untuk film itu sendiri. Namun lewat film ini akan terjawab pertanyaan-pertanyaan yang terbersit dalam benak kita tentang asal-usul Wolverine. Apakah anda terpuaskan atau tidak, itu kembali kepada anda sendiri
.

Saya bukan penggemar komiknya. Tapi saya menonton trilogi X-Men. Ada beberapa kerancuan yang saya
temukan. Misalnya Sabretooth yang tidak mengenali Wolverine di film pertama X-Men tapi ternyata disini dikisahkan bahwa dia bersaudara dengan Wolverine. Lalu Cyclops yang tidak mengenali Wolverine dalam X-Men pertama padahal dia pernah ditolong oleh Wolverine dalam film ini. Tolong koreksi saya jika saya salah, karena sekali lagi saya bukan penggemar komiknya. Tapi saya pun terkagum-kagum dengan adegan aksi beberapa mutant disini. Seperti Zero dengan gaya menembaknya yang keren. Juga adegan Wade dengan pedangnya (sebelum jadi Deadpool) ketika keluar dari elevator. Wolverine pun terlihat perkasa dengan cakar adamantiumnya yang sanggup membelah apapun. Hanya sayang tidak terlihat terlalu buas . Malah lebih terlihat stylish seperti ketika dia berjalan santai dengan background helikopter yang terbakar. Hanya sayang, pengenalan dengan tokoh Gambit tidak dibuat memorable meskipun tidak dapat dibilang jelek. Walaupun sudah absen di tiga film sebelumnya, ternyata Gambit masih belum diberikan porsi yang banyak.

Hugh Jackman memang sudah melekat dengan Wolverine. Sulit untuk mencari penggantinya yang pas. Namun disini saya lebih terkesan dengan penampilan Liev Schreiber sebagai Sabretooth. Kebengisannya terlihat dari
pandangan mata dan nyengiran mulutnya. Beberapa pertempuran mereka terlihat begitu beringas. Salut untuk kerja para stuntman-nya. Namun Hood terlihat kehabisan ide untuk menggambarkan bagaimana mereka bertarung, Wolverine hanya berteriak dan Sabretooth cuma menggeram. Terkam sana terkam sini. Merusak semua property yang ada. Atau ini hanya untuk menunjukan kebuasan mereka berdua. Taylor Kitsch cukup pas bermain sebagai Gambit. Juga dengan Daniel Henney sebagai agen Zero (mengingatkan saya akan Russell Wong). Juga Lynn Collins yang berperan cukup bagus sebagai Silver fox mengingatkan saya dengan Michelle Mognahan. Kita lihat kelanjutan dari karir mereka di Hollywood. Lalu ada Ryan Reynolds sebagai Wade/Deadpool (kecerewetannya disini mengingatkan akan perannya yang lain dalam Blade 3 : Trinity). Juga tidak ketinggalan, permainan Dominic Mognahan yang terkenal sebagai Pippin di LOTR sebagai Bolt (yang sayangnya gampang terlupakan).


Film memang menarik di awal, dimana kita dibawa kepada petualangan James (Logan) dan Viktor sebagai tentara yang berperang pada setiap pertempuran seperti dalam Perang Dunia. Namun film menjadi sedikit kendor di bagian akhir karena hanya berisi adegan aksi yang berkesan ingin menunjukkan klimaks dari film. Penuh adegan asal seru tapi tidak mengesankan. Ditambah akhir seperti dipaksakan agar ‘menyambung’ dengan X-Men yang pertama. Walaupun ada sedikit twisted di akhir film yang cukup mengejutkan namun tidak membantu ending film ini. Sangat disayangkan ketajaman cakar adamantium tidak diimbangi dengan script yang sedikit tumpul. Adegan pertarungan tinju antara Wolverine dengan Blob pun terkesan hanya ‘mengisi’ waktu dan cuma ‘membantu’ jalan cerita.
Namun bagi anda yang memang ingin melihat bagaimana para mutant diluar X-Men Trilogy beraksi, anda memilih film yang tepat. Bahkan ada yang mengatakan film ini adalah pameran show aksi para superhero (mutant).

Ada beberapa pengambilan gambar yang menarik buat saya, misalnya pemandangan-pemandangan indah yang diambil dari angle jauh dan kamera yang bergerak dari atas lalu menerobos pepohonan mengikuti arah gerak mobil. Kerja yang bagus, Donald McAlpine. Mengenai asal usul nama Wolverine pun cukup menarik diikuti.

Well sebagai film summer tahun ini, Wolverine cukup mempunyai ‘cakar’ yang kuat. Walaupun tidak sekuat Ironman apalagi jika dibandingkan dengan The Dark Knight. Padahal ini menceritakan asal mula seorang superhero, seharusnya dibuat agar lebih menarik dan melekat ke dalam benak penonton. Kita tunggu X-Men Origins berikutnya yang menceritakan tentang Magneto.
Satu pesan saya, jangan keluar sebelum credit title berakhir karena ada adegan tambahan.

Sunday, April 19, 2009

KNOWING (2009)

Genre : science Fiction - thriller

Directed by : Alex Proyas

Produced by : Todd Black, Jason Blumenthal, Steve Tisch

Starring : Nicolas Cage, Rose Bryne, Lara Robinson, Chandler Canterbury

Written by : Ryne Douglas Pearson (story),

Alex Proyas, Stuart Hazeldine, Juliet Snowden, Stiles White, Ryne Douglas Pearson (screenplay)

Music by : Marco Beltrami

Cinematography : Simon Duggan

Edited by : Richard Learoyd

Running time : 120 minutes

Budget : US$ 50 millions

Rated : PG - 13 (for disaster sequences, disturbing images and brief language)

Distributed by : SUMMIT ENTERTAINMENT

Pada tahun 2002, ada sebuah film yang berjudul Signs, garapan M. Night Shyamalan. Ada percakapan menarik antara Mel Gibson sebagai Graham dengan Joaquin Phoenix sebagai Merril. Ketika UFO terlihat dimana-mana. Merril menanyakan pada Graham tentang pendapatnya. Graham menjawab, ada dua jenis manusia. Yang pertama adalah orang yang berpikir bahwa UFO itu adalah sebuah keajaiban. Graham menyebutnya mereka adalah miracle man. Mereka berpikir bahwa segala sesuatu ada maksudnya. Lalu jenis yang lain adalah manusia yang berpikir bahwa itu adalah sebuah kebetulan, suatu kejadian acak tanpa arti apapun. Dan manusia berusaha sendiri tanpa perlindungan siapapun. Mereka merasa they are alone, nobody will help them. They are on their own.
Which one are you?

Pertanyaan ini terlontar kembali saat menonton film ini. Film berkutat tentang takdir atau masa depan yang sudah tercatat atau mungkin masa depan bisa diubah. Cerita mengenai masa depan yang terpapar dalam sehelai kertas yang berisikan deretan angka-angka. Kertas yang terkubur dari tahun 1959, ternyata berisi tanggal bencana, jumlah korban dan beserta lokasinya. Seperti tragedi 9/11, kecelakaan pesawat dan lain-lain.

Saya suka karya Alex Proyas seperti Dark City dan I,Robot. Dan saya pun menyukai Knowing. Dibuat dengan tone yang kelam. Jika anda membayangkan film ini seperti Next, film Nicolas Cage dengan tema yang mirip, anda tidak salah berpikir demikian. Namun ternyata, film ini berbeda jauh bahkan saya bisa bilang film ini lebih baik. Dari adegan disaster yang mencekam (saya tidak pernah menonton trailernya), terkejut dengan adegan bencana yang disajikan, begitu dahsyat dan realistis. Ditambah pemikiran-pemikiran yang bertebaran sepanjang film yang membuat kita berpikir.

Cage bisa dibilang berhasil memerankan karakternya kali ini. Suami yang ditinggal istrinya, berdua dengan anak laki-lakinya, Caleb. Cage berperan sebagai John Koestler, seorang professor astrophysics yang mengajar di MIT. John cenderung mempercayai ilmu pengetahuan. Cage cukup terlihat pas dengan karakter yang dimainkan. Sebenarnya penampilan Cage dalam Next tidak buruk. Tapi jika dibandingkan disini, performa Cage lebih meyakinkan.

Lucinda, penulis deretan angka tersebut dimainkan oleh Lara Robinson, juga memainkan peran Abby. Lucinda berhasil membawa penonton di awal film ke dalam atmosfer horror (teringat dengan Samara dalam The Ring). Tapi ini bukan film horor, ini film science fiction. Misteri pun sudah dibuka sebelum akhir film. Namun solusi memang hanya tersedia di akhir film. Sejujurnya saya suka dengan endingnya yang cukup lain. Namun pada kenyataannya, penonton belum tentu suka dengan apa yang disajikan di akhir film.

Rose Bryne, yang bisa kita lihat dalam serial Damages berperan sebagai anak perempuan Lucinda yang bernama Diana. Penampilannya tidak dominan di sini, hanya membantu karakter John dalam mengungkapkan apa yang sudah ada. Diana hanya menjalani dan mengikuti takdirnya disini.

Mungkin agak sedikit membosankan di bagian depan. Namun begitu anda melihat adegan bencana yang begitu “tiba-tiba”, anda akan terbangun dari kebosanan. Walaupun sebenarnya adegan sudah menarik ketika John berhasil menyimpulkan deretan angka tersebut. Patut diakui screenplay yang ditulis beramai-ramai ini, menarik dari ide ceritanya yang memang cenderung termasuk yang disukai penonton. Tapi tidak banyak adegan yang menghadirkan special effect mungkin mengecoh penonton yang mengira ini adalah film disaster seperti Armageddon dan sejenisnya. Adegan demi adegan berlangsung lambat. Di awal ,memang film ini tentang bencana tapi menjelang akhir, film berubah haluan menjadi science fiction dengan balutan religius. Film sedikit kehabisan bahan bakar dengan mengulur waktu dengan adegan-adegan yang sebenarnya hanya membuat jengkel penonton (adegan bodoh). Jangan lupa rasakan “kepanasan” yang menerpa anda pada bagian penghujung film. Membuat film seakan-akan lebih lamban daripada yang terlihat pada layar. Namun demikian, yang saya tangkap, Proyas tidak membuat akhir film menjadi klimaks dengan adegan aksi yang mengguncang penonton tapi membiarkan imajinasi penonton lebih merasakan apa yang terjadi dengan para karakter. Makanya sekali lagi, saya tekankan, ending film ini akan meninggalkan kesan yang berbeda-beda bagi para penonton, (kembali lagi ke pertanyaan awal, which one are you?)

Tuesday, March 31, 2009

BODY OF LIES (2008)

Genre : Action – drama - thriller

Directed by : Ridley Scott

Produced by : Ridley Scott, Donald De Line

Starring : Leonardo DiCaprio, Russell Crowe, Mark Strong, Golshifteh Farahani, Alon Abutbul

Written by : David Ignatius (novel), William Monahan (screenplay)

Music by : Marc Streitenfeld

Cinematography : Alexander Witt

Edited by : Pietro Scalia

Running time : 128 minutes

Budget : US$ 70 millions

Rated : R (strong violence including some torture and for language throughout)

Distributed by : WARNER BROS


Ridley Scott sudah pernah bekerja sama dengan Russell Crowe dalam Gladiator (2000), A Good Year (2006) dan yang terakhir American Gangsters (2007) dan ditunggu saja kerja samanya yang kelima dengan Crowe dalam Robinhood yang rencana rilisnya tahun 2010. Sedangkan Crowe pernah bekerja sama dengan Leonardo Di Caprio lewat The Quick and The Dead (1995). Kini ketiga orang ini berkumpul dalam satu film berbasis spionase di Timur Tengah.

Bercerita tentang seorang agen CIA, Roger Ferris yang dibawah pengawasan Ed Hoffman berusaha mencari pemimpin peledakan bom di kota-kota besar Eropa yang bernama Al-Saleem. Dalam penyelidikannya, Ferris harus bekerja sama dengan Hani Salaam, pimpinan intelijen dari Yordania. Ferris harus mengadu strategi dengan Hoffman maupun dengan Hani. Konflik bertambah pekat dengan hubungan Ferris dengan seorang suster asal Iran bernama Aisha.

Jauh dari “King of the World”, kini Leonardo DiCaprio bersembunyi di balik jenggotnya. Disini Ferris fasih berbahasa Arab. Disini Ferris bimbang dengan segala tindakannya. Dia ragu untuk memihak antara Hani atau Hoffman. Ditambah kekasihnya Aisha di culik orang. Leo berhasil memainkan seorang agen CIA yang penuh dengan konflik pekerjaan dan asmaranya. Leo berhasil meninggalkan era remajanya hingga terlihat aktingnya yang semakin matang dan perannya yang semakin beragam.

Hoffman bekerja di belakang layar, seperti laba-laba yang bekerja di sarangnya di Langley. Penampilan Russell Crowe sangat 'biasa' sekali, dia terlihat nyantai dengan perannya sebagai agen Hoffman. Hoffman yang begitu biasa menangani masalah spionase sambil mengerjakan rutinitas seorang ayah. Crowe harus menambah bobotnya sehingga terlihat gendut karena memang Hoffman hanya bergerak di belakang layar sambil sekali-kali datang ke ‘war zone’. Walaupun berkutat dengan rutinitas bersama keluarga. Tapi Hoffman tak segan-segan mengorbankan anak buahnya dalam operasi lapangan termasuk Ferris. Tapi sayangnya karakter Crowe yang paling lemah diantara Leo dan Strong. Mungkin skenario yang tidak memungkinkan sehingga Crowe tidak bisa berakting lebih. Atau mungkin inilah tujuan dari munculnya karakter Hoffman, orang yang terlihat biasa saja tapi justru lebih berbahaya. Karena bisa mengambil keputusan yang menyebabkan orang tidak bersalah tewas asalkan tujuannya tercapai.


Diatas semuanya adalah penampilan dingin dari Mark Strong (ada yang mengatakan wajahnya sepintas mirip aktor Andy Garcia) sebagai Hani. Perlu dicatat Strong adalah aktor Inggris namun berhasil memainkan agen rahasia Yordania yang berkharisma. Setiap adegan, Strong berhasil mencuri perhatian kita dengan karakternya. Dialah bintang dari film ini. Kita dibuat terpesona dengan penampilannya. Pesonanya mengalahkan Leo dan Crowe. Bahkan terlihat jelas Ferris takut dan segan padanya. Hoffman pun terlihat tidak berkutik di hadapan Hani.

Screenplay ditulis oleh William Monahan (The Departed) berdasarkan novel karangan David Ignatius (seorang jurnalis). Ada beberapa yang diubah dari novelnya. Dalam novel Ferris tertarik dengan sukarelawan asal Amerika tapi disini digantikan oleh suster Yordania.

Film ini memiliki alur spionase yang rumit dengan tingkat cerita yang padat sehingga harus diikuti dengan seksama agar tidak ketinggalan jalan cerita. Apalagi ditambah lokasi cerita yang sering berpindah-pindah. Mungkin anda akan mengerutkan dahi di awal sampai pertengahan film. Karena memang, cerita film ini berbelit-belit dan sering berpindah lokasi dengan cepat. Intrik-intrik yang terjadi harus dicermati agar tidak ketinggalan alur cerita. Setelah satu jam berjalan, film mulai menunjukkan tujuannya. Anda akan menikmati permainan politik seperti ketika Ferris merencanakan untuk memakai seseorang sebagai teroris palsu (ini salah satu faktor yang menarik dari Body of Lies). Teknologi canggih yang mengubah cara pandang kita tentang operasi spionase yang modern. Adegan yang dilakukan untuk menutupi apa yang sedang terjadi di permukaan bumi agar tidak terlihat oleh satelit yang digunakan untuk memonitor kegiatan Ferris. Hal-hal seperti ini memberi nilai plus untuk film ini. Hanya sayang adegan ledakan tidak sedahsyat dalam The Kingdom, efek ledakannya tidak terlalu mengesankan, hanya sekedar tempelan. Tidak membuat penonton merasa ngeri dengan peristiwa itu. (Saya sempat terpana melihat ledakan kedua di The Kingdom)

Namun perlu diingatkan bahwa ini bukan cerita seorang agen CIA yang jagoan. Lihat ketika Ferris digigit seekor anjing lalu harus dirawat oleh seorang suster yang membuatnya jatuh hati. Pernah terbayangkan oleh anda apabila James Bond digigit oleh seekor anjing dan kemudian harus disuntik anti rabies. Inilah kerja asli seorang agen rahasia sesungguhnya. Rumit dan tidak menyenangkan. Kehilangan partner. Harus mengambil keputusan pahit di saat-saat genting. Dikhianati. Bahkan sampai disiksa.

Jika anda mencermati film Scott yang lain seperti Black Hawk Down, ada beberapa adegan yang mirip. Seperti pengawasan melalui TV besar via satelit. Beberapa adegan dishoot dari atas. Scott ahli dalam membuat adegan klimaks dalam pace yang lambat tidak seperti saudaranya selalu membuat film dengan pace cepat (maksudnya Tony Scott). Tapi yang patut diperhatikan juga adalah bagaimana Scott berhasil memperlihatkan bagaimana kultur kebudayaan di Yordania. Hal ini digambarkan dengan cukup signifikan dengan hubungan antara Aisha dengan Ferris. Cukup menarik.

Jika anda menyukai film thriller minus adegan aksi yang spektakuler, mungkin Body of Lies termasuk yang anda cari. Sepanjang film mungkin anda akan bertanya siapa yang lebih berbahaya, Ferris, Hoffman atau Hani. Atau anda akan bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan karakter Ferris. Ini yang membuat film menjadi seru. Tapi juga jangan salah kaprah, jika anda tidak kuat mungkin anda akan kebosanan dengan film ini sehingga tidak kuat untuk tetap menonton sampai akhir film. Sangat disayangkan bila itu terjadi karena film ini baru menunjukkan tajinya yang kuat di seperempat akhir film.

Saturday, March 28, 2009

DRAGON BALL EVOLUTION (2009)

Genre : Action – Adventure - Fantasy

Directed by : James Wong

Produced by : Stephen Chow, James Wong

Starring : Justin Chatwin, Chou Yun Fat, Jamie Chung, Emmy Rossum

Written by : Ben Ramsey, James Wong (screenplay) ; Akira Toriyama (comic)

Music by : Bryan Tyler

Cinematography : Robert MacLachlan

Edited by : Chris G. Willingham

Running time : 84 minutes

Budget : US$ 100 millions

Distributed by : 20TH CENTURY FOX

Menonton film ini, jadi teringat sebuah film garapan Roland Emmerich yang berjudul Godzilla, Namun ternyata hanya namanya saja yang dicomot. Sedangkan bentuk dan asal muasalnya pun dirombak sehingga tidak mencerminkan sosok Godzilla yang asli dari Jepang. Saya akui filmnya di atas rata-rata tapi cukup mengecoh para penggemar Godzilla. Bahkan sampai sekarang pun film Godzilla-nya Emmerich masih sulit ditandingi kedahsyatan special effectnya. Dan entah kenapa ketika menonton film ini, pikiran saya langsung teringat “Godzilla” ini.

Dragon Ball adalah komik rekaan Akira Toriyama yang memiliki jutaan penggemar. Pemeran utamanya Goku, kini diperankan oleh seorang pemuda bule. Masih ada tokoh Master Roshi, Bulma, Chi chi dan Yamcha. Dan tokoh penjahatnya di film ini adalah Piccolo. Tujuh bola naga masih menjadi bahan rebutan. Yang berbeda adalah jalan cerita dan latar belakang para tokoh yang dipadatkan dalam durasi film yang terbilang sangat singkat.

Apa yang diharapkan oleh para penggemar Dragon Ball adalah visualisasi dari komik yang terealisasikan ke layar lebar. Pernah ada film animasi Dragon Ball yang dibuat persis komik bahkan ada beberapa adegan tambahan yang dibuat lebih panjang. Tapi tetap tidak melenceng dari komik. Apakah ini yang anda inginkan? Bila iya, maka anda akan kecewa berat. Film ini hanya mengambil ide utamanya saja berikut beberapa tokoh utamanya, lalu dibuat cerita baru yang bisa dikatakan keluar dari jalur. Apakah ini suatu hal buruk? Jujur saja, bagi saya yang bukan fans Dragon Ball (meskipun saya pernah baca komiknya) , hal ini tidak menjadi masalah. Sah-sah saja jika mereka ingin merubah jalan cerita. Mereka sudah membayar royalti atau mungkin ini salah satu taktik dagang Hollywood agar menarik calon penonton. Karena nama-nama seperti Godzilla dan Dragon Ball sudah dikenal luas. Sayangnya hal ini menjadi bumerang bagi para pembuat film yang bersangkutan. James Wong dicaci maki. 20th Century Fox dikutuk. Teringat kasus Final Fantasy: Spirit Within yang alur ceritanya menyimpang dari game-gamenya sehingga membuat Final Fantasy terpuruk di box office ditambah bujet film yang terlalu tinggi.

James Wong dipuji berhasil menghidupkan film Final Destination 1 dan 3 menjadi film yang cukup seru untuk dinikmati. Lewat film teranyarnya ini, Wong tidak berhasil menggunakan semua asset yang ada. Adegan pertarungannya bagus di awal tapi menghilang di pertengahan film, padahal wong pernah berpengalaman menggarap Jet Li lewat The One. Banyak hal yang hilang dipangkas. Hal ini yang membuat penggemar Dragon Ball mencak-mencak sedangkan buat yang non pengemar bingung akan jalan cerita yang super cepat. Apakah ini sebabnya judulnya ditambah kata Evolution? Sehingga bisa digunakan sebagai dalih dari pihak pembuatnya bila ada yang protes dengan perbedaan yang ditemukan dalam film.

Justin Chatwin berperan sebagai Goku. Sulit untuk mencari pemeran Goku yang pas. Toh dikomiknya dia seorang anak kecil tapi berilmu tinggi. Mungkin anda pun bingung siapa yang pantas menjadi Goku. Apakah anak kecil yang sering berperan sebagai anak Jet Li seperti dalam Appointment with Death? Apakah partnernya Boboho yang sering berperan sebagai jagoan dari Shaolin? Jadi biarkanlah Justin menikmati perannya sebagai jagoan di film ini, toh belum tentu ada sekuelnya melihat hasil peredarannya yang kurang memuaskan. Sekedar informasi Justin sebelumnya bermain sebagai anak Tom Cruise dalam War of the World.

Sebagai Master Roshi yang mata keranjang adalah Chou Yun Fat. Mungkin anda akan berkata, kok tidak terlalu mata keranjang bahkan terlihat bijaksana. Kalo hal ini saya agak setuju. Chou Yun Fat tidak terlalu pas memerankan Master Roshi. Malah sebaiknya sang produser , Stephen Chow yang cocok berperan sebagai Master yang konyol, tinggal dihias plontos dan agak tua. Mengenai karakter Bulma, Emmy Rossum cukup baik permainannya dan terlihat cantik dengan dandanannya. Mungkin yang agak menarik perhatian penonton adalah Jamie Chung sebagai Chi Chi. Kita lihat penampilan Jamie Chung berikutnya. Satu lagi yang menjadi pertanyaan saya sepanjang film adalah pemeran Mai, asistennya Piccolo. Siapa gadis ini? Setelah saya ingat-ingat ternyata dia adalah pemeran wanita yang digandrungi Hiro di serial Heroes ketika Hiro kembali ke masa lalu.

Saran saya pada anda jika ingin menonton film ini, simpanlah kenangan anda akan komik Dragon Ball di luar pintu bioskop dan tontonlah film ini tanpa memori indah tentang Dragon Ball. Dengan begitu anda akan lebih menikmati film ini. Film ini tidaklah buruk namun belum mencapai tahap yang cukup memuaskan sebagai transformasi dari komik ke layar lebar. Mudah-mudahan kasus ini menjadi bahan pembelajaran bagi para film maker yang ingin membuat Cowboy Bebop ke layar lebar.
Powered By Blogger