Friday, October 2, 2009

G.I. JOE : THE RISE OF COBRA (2009)

Genre : Action – Science Fiction

Directed by : Stephen Sommers

Produced by : Lorenzo di Bonaventura, Bob Ducsay, Brian Goldner

Starring : Channing Tatum, Sienna Miller, Marlon Wayans, Rachel Nichols, Ray Park, Said Taghmaoui, Lee Byung Hun, Joseph Gordon-Levitt, Dennis Quaid, Jonathan Pryce

Written by : (screenplay) Stuart Beattie, David Elliot, Paul Lovett; (story) Michael B. Gordon, Stuart Beattie, Stephen Sommers; (comic book) : Larry Hama

Music by : Alan Silvestri

Cinematography : Mitchell Amundsen

Edited by : Bob Ducsay, Jim May

Running time : 118 minutes

Budget : US$ 175 millions

Distributed by : PARAMOUNT PICTURES

Mengikuti trend X-Men, lupakan kostum yang berwarna warni. Karena dengan alasan, tidak sinkron dengan dunia nyata, maka warna kostum menjadi cool-black (istilah baru hehe). Bagi yang ingin bernostalgia, mungkin akan merasa kurang berkenan. Untunglah tokoh-tokohnya masih tetap seperti serial kartunnya.


Saya tidak mengikuti film animasinya. Tapi menilik dari judulnya, The Rise of Cobra. Sebenarnya sudah awal yang tepat untuk memulai franchise G.I. Joe. Karena Cobra adalah sebuah organisasi yang selalu berseteru dengan pasukan G.I. Joe. Apalagi ditambah ending film mengarah ke sebuah sekuel. Diduga mungkin suatu saat akan seperti X-Men, ada origin dari masing-masing karakter seperti Duke, Ripcord dan Snake Eyes. Tolong jangan deh jika dilihat dari hasil film pionernya ini.

Tahun ini adalah tahunnya Hasbro, perusahaan yang juga memproduksi robot-robot Transformers. Padahal melihat bujet antara kedua film ini yang tidak berbeda jauh. Tapi entah kenapa di pandangan saya, terlihat sekali perbedaan yang signifikan antara keduanya. Terutama sekali dari visual efeknya. Atau mungkin ada unsur kesengajaan karena terlihat sekali visual efek di G.I. Joe seperti animasi. Tapi Transformers pun ada film animasinya juga.


Saya suka karya Sommers sebelumnya, Deep Rising, The Mummy, Mummy Returns dan Van Helsing. Berharap merasakan ketegangan yang saya rasakan ketika menonton film-film tersebut. Tapi ternyata harapan saya hanyalah sebuah mimpi. Sebagai salah satu film yang saya antisipasi tahun ini, G.I. JOE sangat berhasil membuyarkan imajinasi saya tentang sebuah film yang bakal luar biasa di tangan Sommers. Well, Sommers not so summer this year.


Adegan aksi di film ini memang tersebar hampir sepanjang film. Bahkan semua adegan bisa dikategorikan action sequence. Sehingga cerita tidak menjadi kekuatan film. Untuk tidak mengurangi porsi adegan aksi yang ada, maka Sommers menceritakan background dari beberapa karakter lewat adegan flashback yang sejujurnya bisa dikatakan berhasil tetapi sayangnya tidak menambah nilai film ini.

Pace film ini cepat seperti yang Sommers lakukan dalam Van Helsing. Tapi adegan-adegan yang seru tidak menaikkan adrenalin penonton. Penonton (saya) seperti terdiam menatap layar tanpa berekspresi. Bahkan beberapa adegan yang dimaksudkan sebagai twist scene malah sudah tertebak sebelumnya.
Dengan senjata dan peralatan high tech, film ini tampil dengan dialog “low tech”. (Ingat Sommers, penggemar G.I. Joe itu sekarang sudah dewasa)

Ini film yang serba tanggung, hanya mengisi durasi dengan pameran adegan aksi yang tidak berjiwa. Mungkin sulit bagi Sommers mengisi karakteristik setiap tokoh yang terhitung banyak ini ke dalam sebuah film yang memang dikategorikan “film musim panas” (maksudnya hanya penuh ledak-ledakan, adegan aksi dan bujet mahal). Terbayang oleh saya, bagaimana beratnya beban yang ditanggung oleh sutradara pembuat Justice League (kalo memang film itu jadi diproduksi).


Setahu saya, dulu yang menjadi Duke adalah Mark Wahlberg. Entah kenapa sekarang beralih ke Channing Tatum. Body sih ok, tapi tampang bersedihnya ga ada waktu sahabatnya tewas. Malah dia tampil cool berkacamata hitam dalam setelan hitam di bawah guyuran hujan dan naik motor besar.
Marlon Wayans sebagai Ripcord, pada bagian tertentu cukup efektif sebagai badut. Meskipun tidak semua lawakannya lucu. (Dan jangan “takut” ini bukan film sejenis Scary Movie)
Ada ninja di film ini. Bahkan ada dua. Adegan aksi mereka biasa saja tapi cerita flashback mereka cukup menarik. Warna kostum mereka pun kontradiktif. Kostum putih – bad guy. Kostum hitam – good guy. Memakai aktor Lee Byung Hun cukup jitu untuk mewakili penonton Asia. Sayangnya saya jarang menonton film Korea jadi saya tidak tahu apakah Byung Hun ini aktor terkenal di Korea atau bukan.

Dennis Quaid sebagai General Hawk pun tidak bisa berbuat banyak, bahkan terlihat tidak berdaya disini. Entah apakah dalam serial aslinya, dia ahli dalam sebuah pertarungan atau tidak. Karena jelas disini, Hawk terlalu gampang untuk dipecundangi.

Pemanis film ini adalah persaingan antara Sienna Miller dan Rachel Nichols. Dua karakter yang berbeda. Satu ganas dan yang lain cerdas. Bisa dikatakan mereka cukup berhasil memerankan karakternya.

Jika anda menonton semua filmnya Sommers, maka akan banyak cameo dari bintang-bintang di film Sommers sebelumnya. Ada Brendan Fraser, Arnold Vosslo, Kevin J O’Connor.

Mungkin karena keterbatasan waktu atau karena memang bukan bagian itu yang ingin diekspos oleh filmaker. Proses masuknya Duke dan Ripcord dibuat sesingkat mungkin dan tidak semenarik mungkin. Padahal ini bisa menjadi bagian yang menarik dari film. Karena adegan rekrut-mengrekrut biasanya selalu menarik perhatian. Karena ini adalah awal sebuah karakter menjadi sesuatu yang lebih dari sebelumnya. Penonton biasanya menyukai hal itu.

Hampir menyerupai Transformers 2, pada peperangan di akhir film, sulit sekali menentukan mana lawan dan kawan. Bahkan lebih sulit lagi untuk mengkonsentrasikan pikiran pada film. Sekali lagi, penggemar G.I. Joe sudah beranjak dewasa, Bung Sommers. Adegan di Paris lah yang masih menyisakan semangat untuk terus menonton. Adegan aksi yang berlebihan bukanlah sebuah resep mujarab apabila tidak didukung oleh sebuah cerita yang bagus. Tidak selalu harus kompleks untuk membuat sebuah cerita yang menarik. Sebuah ide sederhana pun bisa menjadi sebuah film yang luar biasa jika diramu dengan cerdas.

Banyak yang mengatakan inilah the loudest movie of the year so far. Saya setuju dengan pernyataan itu. Desingan peluru kelas berat, ledakan yang luar biasa (walaupun tidak seluar biasa Terminator Salvation), “ocehan Ripcord” (maaf, ini hanya gurauan saja), adu pedang antar dua ninja. Saking bisingnya suara special efeknya, saya tidak memperhatikan iringan musiknya.

Tapi jangan khawatir, walaupun saya mengatakan film ini tidak luar biasa, bahkan cenderung biasa sekali. Banyak juga kok penonton lain yang sangat menyukai film ini. Itu kembali ke selera anda, bila anda menganggap Transformers 2 atau Terminator Salvation adalah film yang luar biasa, maka hampir pasti anda akan menganggap film ini pun demikian.
Powered By Blogger