Directed by : David Yates
Produced by : David Heyman, David Barron
Starring : Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint, Michael Gambon, Jim Broadbent, Alan Rickman, Tom Felton, Helena Bonham-Carter
Written by : Steve Kloves (Screenplay), J.K. Rowling (novel)
Music by : Nicholas Hooper, John Williams (themes)
Cinematography : Bruno Delbonnel
Edited by : Mark Day
Running time : 153 minutes
Budget : US$ 250 millions
Distributed by : WARNER BROS
All you need is love. Bahkan wizard paling terkenal seperti Harry Potter pun butuh cinta. Yang paling mencolok dalam film ini dibandingkan dengan semua seri Harry Potter selama ini adalah kisah cinta para karakter utamanya. Menarik karena setelah sekian lama, mereka akhirnya naik ke jenjang yang lebih dewasa. Hal ini masih menjadi menarik sampai pada adegan yang terlalu berlebihan porsinya dalam hal percintaan mereka. Cukuplah kuantitasnya dikurangi sedikit. Sehingga porsinya bisa ditambahkan untuk adegan aksi yang sangat diinginkan oleh para penonton. Tapi sayangnya hal itu tidak menjadi kenyataan. Banyak yang mencela film ini karena kurangnya adegan aksi yang menegangkan. Banyak juga yang mengatakan bahwa film ini terlalu melenceng dari novelnya.
Maafkan saya. Ketika membuat review ini saya baru baca novel jilid pertama sampai empat. Jadi mungkin kata-kata saya ada yang tidak bisa diterima oleh para pecinta Harpot. Sekali lagi saya minta maaf.
Yang sangat terasa adalah nuansa remaja dan nuansa misteri yang terasa berkurang. Dimana sebelumnya, setiap judul film merupakan misteri yang terselubung. Sehingga bagi penonton muggle (yang belum membaca bukunya) penasaran dengan misteri tersebut. Namun setelah Order of Phoenix, nuansa misteri itu sirna. Bahkan disini pun saya jamin, bahwa anda tidak akan merasa terlalu bertanya-tanya siapa itu Half Blood Prince. Karena memang Yates tidak terfokus pada hal itu. Dia terfokus untuk membuat sebuah film yang menjembatani para penonton untuk menuju final dari serial Harry Potter.
Setelah di film-film sebelumnya, Severus Snapes dan Draco Malfoy hanya sebagai peran pembantu saja. Snapes dan Malfoy memegang peranan penting kali ini. Bahkan Tom Felton pemeran Malfoy bisa menggambarkan perubahan sikapnya yang menjadi penyendiri dan menyimpan rasa dendam yang membara. Suasana hatinya ini dibantu oleh visual yang baik oleh Yates. Di atas semuanya mungkin bisa dikatakan film ini adalah duet antara Harry dengan Dumbledore. Disini Dumbledore seakan-akan sudah menetapkan hati, memilih Harry untuk melawan Voldemort.
Sedangkan Ralph Fiennes absen dulu. Perannya digantikan oleh keponakannya Hero Fiennes Tiffin sebagai Voldemort waktu masih kecil lalu Frank Dillane memerankan Voldemort waktu berumur belasan. Dengan senyuman dan pandangan matanya yang menjanjikan kehausan akan ilmu hitam.
Serial Harry Potter menginjak dewasa. Well, iyalah. Setelah enam tahun, otomatis mereka beranjak dewasa. Percintaan Harry dan Ginny. Kecemburuan Hermione kepada Ron. Semua hal ini merupakan babak baru dalam serial Harry Potter dan membawa nafas baru yang cukup mengasyikan untuk dihirup. Dengan bobot yang cukup, bagian ini bisa membuat film sangat menarik. Tapi ketika porsinya ditambah sehingga terlalu berlebihan, malah membuat penonton sedikit muak akan hal ini. Sayang sekali.
Sebenarnya saya kecewa dengan Order of Phoenix. Maka saya agak sedikit waswas ketika Yates ternyata menggarap film Harpot berikutnya. Namun ketakutan saya akan film ini sedikit berkurang. Karena kini di tangan Yates, special efek hanya menjadi sekedar tempelan yang melatarbelakangi kisah drama yang semakin kelam. Dan untuk Half Blood Prince, ramuan ini sangat pas dan mengena di hati. Sehingga saya menambahkan film ini ke daftar film Harry Potter favorit saya setelah Prisoner of Azkaban dan Goblet of Fire.
Yang saya suka dari Half Blood Prince adalah gerak kameranya yang sangat pas dengan setiap adegan. Bahkan saking pintarnya, gerak kamera dan angle kamera bisa membantu penambahan nilai adegan dan suasana hati para karakternya. Adegan di The Burrow ketika Ron dan Hermione menyambut Harry dengan angle diambil dari bawah lalu masing-masing karakter menampakkan diri menyapa Harry, sungguh pandai dan lucu menurut saya. Walaupun adegan aksinya sedikit sekali. Tapi saya cukup menikmati adegan aksi yang ada. Seperti ketika Ginny menyusul Harry mengejar Death Eaters. Lalu adegan jembatan di awal film cukup menggetarkan. Juga permainan Quiditch yang tampak begitu gagah (di luar kekonyolan Ron disini tapi konyol dalam arti positif). Dalam porsi yang tidak banyak tapi berbobot.
Durasi film termasuk lama. Banyak yang bilang film ini bertele-tele. Tapi anehnya saya lebih menikmati film ini, dibandingkan dengan Transformers 2 yang harusnya lebih menyenangkan dengan pameran spesial efeknya yang luar biasa plus adegan aksi yang dahsyat. Mungkin anda akan berpendapat lain dengan saya. Ya itu memang masalah selera. Tidak bisa dipaksakan. Tolong jangan memarahi saya karena saya lebih suka film ini.
Tapi yang harus kita terima bahwa Harry Potter dan kawan-kawan sudah beranjak dewasa sehingga filmnya pun menuju ke arah yang sama sehingga kini Harry Potter bukanlah film untuk anak-anak lagi. Semakin hari, film Harry Potter semakin gelap dan kelam. Disini pun, hampir bisa dikatakan sedikit warna yang ada. Tapi ironisnya, bisa dikatakan ini film Harry Potter yang banyak mengundang tawa. Sangat kontradiktif tapi mungkin ini bertujuan untuk membuat pikiran penonton sedikit rileks bukannya terbawa stress karena tone film ini.
Dengan kabar yang tersiar bahwa Deathly Hallows dibagi menjadi dua bagian. Maka harap bersabar untuk menunggu akhir dari serial Harry Potter yang jadi lebih tertunda. Dan berharaplah bahwa Yates bisa membuat film Harry Potter yang sesuai dengan keinginan para fansnya dan juga yang bukan fans. Meskipun itu mungkin bukan tugas yang mudah untuk Yates.
Produced by : David Heyman, David Barron
Starring : Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint, Michael Gambon, Jim Broadbent, Alan Rickman, Tom Felton, Helena Bonham-Carter
Written by : Steve Kloves (Screenplay), J.K. Rowling (novel)
Music by : Nicholas Hooper, John Williams (themes)
Cinematography : Bruno Delbonnel
Edited by : Mark Day
Running time : 153 minutes
Budget : US$ 250 millions
Distributed by : WARNER BROS
All you need is love. Bahkan wizard paling terkenal seperti Harry Potter pun butuh cinta. Yang paling mencolok dalam film ini dibandingkan dengan semua seri Harry Potter selama ini adalah kisah cinta para karakter utamanya. Menarik karena setelah sekian lama, mereka akhirnya naik ke jenjang yang lebih dewasa. Hal ini masih menjadi menarik sampai pada adegan yang terlalu berlebihan porsinya dalam hal percintaan mereka. Cukuplah kuantitasnya dikurangi sedikit. Sehingga porsinya bisa ditambahkan untuk adegan aksi yang sangat diinginkan oleh para penonton. Tapi sayangnya hal itu tidak menjadi kenyataan. Banyak yang mencela film ini karena kurangnya adegan aksi yang menegangkan. Banyak juga yang mengatakan bahwa film ini terlalu melenceng dari novelnya.
Maafkan saya. Ketika membuat review ini saya baru baca novel jilid pertama sampai empat. Jadi mungkin kata-kata saya ada yang tidak bisa diterima oleh para pecinta Harpot. Sekali lagi saya minta maaf.
Yang sangat terasa adalah nuansa remaja dan nuansa misteri yang terasa berkurang. Dimana sebelumnya, setiap judul film merupakan misteri yang terselubung. Sehingga bagi penonton muggle (yang belum membaca bukunya) penasaran dengan misteri tersebut. Namun setelah Order of Phoenix, nuansa misteri itu sirna. Bahkan disini pun saya jamin, bahwa anda tidak akan merasa terlalu bertanya-tanya siapa itu Half Blood Prince. Karena memang Yates tidak terfokus pada hal itu. Dia terfokus untuk membuat sebuah film yang menjembatani para penonton untuk menuju final dari serial Harry Potter.
Setelah di film-film sebelumnya, Severus Snapes dan Draco Malfoy hanya sebagai peran pembantu saja. Snapes dan Malfoy memegang peranan penting kali ini. Bahkan Tom Felton pemeran Malfoy bisa menggambarkan perubahan sikapnya yang menjadi penyendiri dan menyimpan rasa dendam yang membara. Suasana hatinya ini dibantu oleh visual yang baik oleh Yates. Di atas semuanya mungkin bisa dikatakan film ini adalah duet antara Harry dengan Dumbledore. Disini Dumbledore seakan-akan sudah menetapkan hati, memilih Harry untuk melawan Voldemort.
Sedangkan Ralph Fiennes absen dulu. Perannya digantikan oleh keponakannya Hero Fiennes Tiffin sebagai Voldemort waktu masih kecil lalu Frank Dillane memerankan Voldemort waktu berumur belasan. Dengan senyuman dan pandangan matanya yang menjanjikan kehausan akan ilmu hitam.
Serial Harry Potter menginjak dewasa. Well, iyalah. Setelah enam tahun, otomatis mereka beranjak dewasa. Percintaan Harry dan Ginny. Kecemburuan Hermione kepada Ron. Semua hal ini merupakan babak baru dalam serial Harry Potter dan membawa nafas baru yang cukup mengasyikan untuk dihirup. Dengan bobot yang cukup, bagian ini bisa membuat film sangat menarik. Tapi ketika porsinya ditambah sehingga terlalu berlebihan, malah membuat penonton sedikit muak akan hal ini. Sayang sekali.
Sebenarnya saya kecewa dengan Order of Phoenix. Maka saya agak sedikit waswas ketika Yates ternyata menggarap film Harpot berikutnya. Namun ketakutan saya akan film ini sedikit berkurang. Karena kini di tangan Yates, special efek hanya menjadi sekedar tempelan yang melatarbelakangi kisah drama yang semakin kelam. Dan untuk Half Blood Prince, ramuan ini sangat pas dan mengena di hati. Sehingga saya menambahkan film ini ke daftar film Harry Potter favorit saya setelah Prisoner of Azkaban dan Goblet of Fire.
Yang saya suka dari Half Blood Prince adalah gerak kameranya yang sangat pas dengan setiap adegan. Bahkan saking pintarnya, gerak kamera dan angle kamera bisa membantu penambahan nilai adegan dan suasana hati para karakternya. Adegan di The Burrow ketika Ron dan Hermione menyambut Harry dengan angle diambil dari bawah lalu masing-masing karakter menampakkan diri menyapa Harry, sungguh pandai dan lucu menurut saya. Walaupun adegan aksinya sedikit sekali. Tapi saya cukup menikmati adegan aksi yang ada. Seperti ketika Ginny menyusul Harry mengejar Death Eaters. Lalu adegan jembatan di awal film cukup menggetarkan. Juga permainan Quiditch yang tampak begitu gagah (di luar kekonyolan Ron disini tapi konyol dalam arti positif). Dalam porsi yang tidak banyak tapi berbobot.
Durasi film termasuk lama. Banyak yang bilang film ini bertele-tele. Tapi anehnya saya lebih menikmati film ini, dibandingkan dengan Transformers 2 yang harusnya lebih menyenangkan dengan pameran spesial efeknya yang luar biasa plus adegan aksi yang dahsyat. Mungkin anda akan berpendapat lain dengan saya. Ya itu memang masalah selera. Tidak bisa dipaksakan. Tolong jangan memarahi saya karena saya lebih suka film ini.
Tapi yang harus kita terima bahwa Harry Potter dan kawan-kawan sudah beranjak dewasa sehingga filmnya pun menuju ke arah yang sama sehingga kini Harry Potter bukanlah film untuk anak-anak lagi. Semakin hari, film Harry Potter semakin gelap dan kelam. Disini pun, hampir bisa dikatakan sedikit warna yang ada. Tapi ironisnya, bisa dikatakan ini film Harry Potter yang banyak mengundang tawa. Sangat kontradiktif tapi mungkin ini bertujuan untuk membuat pikiran penonton sedikit rileks bukannya terbawa stress karena tone film ini.
Dengan kabar yang tersiar bahwa Deathly Hallows dibagi menjadi dua bagian. Maka harap bersabar untuk menunggu akhir dari serial Harry Potter yang jadi lebih tertunda. Dan berharaplah bahwa Yates bisa membuat film Harry Potter yang sesuai dengan keinginan para fansnya dan juga yang bukan fans. Meskipun itu mungkin bukan tugas yang mudah untuk Yates.
11 comments:
Ga terlalu tertunda kok bro. Soalnya dirilisnya ala Matrix gitu. Cuma jeda setengah tahun langsung rilis.
hehe...lumayanlah bikin penasaran :D
samapi detik ini belum nntn juga karena dah terlanjur kecewa ma buku 7 nya
@bokunosekai : hehe...emang jelek ya ending dari novelnya?
gak niat nonton HP
Nyewa filmnya pun tak rela
Minjem dunk
@riza : boleh, pinjem aja ke 21 ato XXI ato Blitz, karena belum ada DVD orinya hehe...
Setuju bro.. di luar adegan roman nya yang berbunga2 itu, kekelaman, sinematografi dan humornya yang bikin film Har-Pot ke-enam ini menarik.
@J-C ; one of my fav movie, bro :D
sekarang dah mpe mana baca novelny bang? *hihihi lucu jg istilah muggle buat nyebut org yg lom tuntas baca HP*.....film HP 6 ni mang memuakkan, g seimbang maksudq, cerita novel yg dibuat dg bahasa film kurang greget, timpang coz terlalu berlebihan di beberapa sisi *dramatisasi cinta?*
gua suka sih yang seri ke-6 ini. Gombalnya cinta wakakakaka...
hahahaha.....
cinta=gombal.....klo ditambah gombal lagi jadinya buta dan gila...:p
Post a Comment