Sunday, January 25, 2009

SEVEN POUNDS

Genre : Drama

Directed by : Gabriele Muccino

Produced by : Todd Black, Jason Blumenthal, James Lassiter, Will Smith, Steve Tisch

Starring : Will Smith, Rosario Dawson, Woody Harrelson, Michael Ealy, Barry Pepper

Written by : Grant Nioporte

Music by : Angelo Millie

Cinematography : Philippe Le Sourd

Edited by : Hughes Winborne

Running time : 123 minutes

Budget : US$ 55 juta

Rated : PG-13 (for thematic material, disturbing content and a scene of sensuality).

Distributed by : Columbia Pictures

Sulit untuk memberikan review film ini tanpa membeberkan beberapa spoiler. Tapi akan saya coba. Film diawali dengan Ben Thomas menelpon 911. Lalu adegan berpindah dimana Ben Thomas memarahi Ezra Turner, seorang salesman buta lewat telepon. Gaya bicara dan kata-katanya yang kasar ditanggapi Ezra dengan tenang dan sabar. Lalu cerita berlanjut dengan Ben memasuki data dinas pajak dan mendapati nama Emily Posa. Ternyata Emily menderita heart failure sehingga sering bolak balik masuk rumah sakit. Entah apa maksud Ben mendekati Emily, tapi lama-kelamaan Emily menjadi tertarik dengan Ben. Tapi Ben terlihat sedikit menjaga jarak dari Emily.

Selain Emily dan Ezra, ternyata Ben pun sedang mengamati beberapa orang lain seperti Connie Tepos, seorang ibu dua anak yang sering dipukuli oleh pacarnya. Juga ada George Ristuccia, seorang pria tua pelatih hockey, juga ada seorang anak kecil, Nicholas dan seorang wanita bernama Holly.

Sebenarnya Ben punya masalah dengan masa lalunya. Sahabatnya, Dan pun tampaknya mempunyai suatu hutang misterius terhadap Ben. Bahkan Ben pun sengaja menghindar dari saudara laki-lakinya. Siapakah jati diri Ben sesungguhnya? Apa sebenarnya yang sedang dilakukan Ben? Apakah Emily akhirnya akan mendapatkan Ben’s heart?



Melihat trailer film ini, (in seven days, God created the world and in seven second, I shattered mine) membuat kita penasaran apa yang sebenarnya menjadi inti cerita film ini. Dan ketika anda menonton filmnya, di awal film pun, sengaja anda akan dibuat bertanya-tanya. Ditambah alur ceritanya yang sering flash back. Tapi jangan khawatir karena di pertengahan film, anda mulai bisa menebak-nebak ke arah mana anda akan dibawa.


Will Smith memainkan perannya dengan baik setelah tampil sedikit berotot di Hancock, disini Will terlihat lebih kurus demi menjiwai perannya (ikut sebagai produser disini). Dan harus diakui bahwa Will adalah salah satu aktor Hollywood paling terkenal saat ini. Dimana film-filmnya menjadi jaminan kelarisan baik itu genre drama, komedi, aksi atau bahkan sci-fi sekalipun. Namun yang menarik perhatian saya adalah karakter Ezra yang dimainkan oleh Woody Harrelson. Penampilannya tidak dominan tapi bisa membuat film menjadi hidup. Woody berhasil memainkan peran seorang tuna netra yang sabar, hidup dalam kesendiriannya, menghibur orang dengan bermain piano bahkan sering mengunjungi sebuah café yang ternyata disitu ada seorang wanita yang ingin dikencaninya. Satu lagi yang membuat saya terkesan adalah Rosario Dawson yang bermain sebagai Emily Posa. Salah satu karakter kunci di film ini. Dawson berhasil memerankan seorang wanita yang lemah jantung, bahkan mengajak anjingnya jalan-jalan pun, dia tidak kuat. Kita dibuat percaya dengan kelelahan dimatanya bahkan helaan napasnya bahwa memang Emily memiliki jantung yang lemah.

Tapi sayang adegan romantisme antara Ben dan Emily, menurut saya agak terlalu dipaksakan. Mengingat masa lalu Ben (saya tetap tidak akan kasih spoiler), harusnya tidak terjadi segampang itu. Mungkin hal ini dilakukan untuk memperkuat motif Ben atau ujian buat Ben untuk menjalankan ‘misi’ nya. Namun Gabriele Muccino sebagai sang sutradara, berhasil menjalin suatu hubungan yang ‘manis’ antara Ben dan Dan , teman sejatinya. Sebuah persahabatan yang kokoh dan menurut saya hal ini menarik sekali.


Setelah bekerja sama di Pursuit of Happyness, Will kembali bergabung dengan Gabriele Muccino dalam film drama yang ditulis oleh Grant Nieporte. Selain dengan Muccino, Will juga bekerja sama untuk kedua kalinya dengan Barry Pepper (sebagai Dan) setelah Enemy of the States. Muccino berhasil memadukan semua adegan yang seperti puzzle di awal film menjadi sebuah kesatuan yang utuh setelah anda melihat akhir dari film. Bahkan saya suka detil-detil kecil (adegan-adegan kecil) yang menambah karakteristik dari tokoh Ben. Seperti visualisasi kerinduan Ben, perlu anda perhatikan Ben itu lulusan MIT sehingga dia bisa mengefisiensikan mesin cetak milik Emily, dan juga apa yang dilakukan seekor ubur-ubur disini.


Apakah film ini sama bagusnya dengan Pursuit of Happyness? Yang bisa saya katakan mereka adalah dua film yang berbeda. Menurut saya, Pursuit lebih menekankan kepada seorang karakter Chris Gardner dalam perjuangan hidupnya, ditambah itu adalah kisah nyata sehingga membuat film tersebut menjadi film penuh inspirasi. Sedangkan Seven Pounds lebih terfokus dalam hubungan antar karakter ditambah adegan-adegan yang menyentuh. Apalagi bila anda sudah melihat endingnya (menurut saya) cukup dramatis dan mengharukan. Jadi saran saya, jangan bandingkan kedua film itu tapi tontonlah keduanya untuk memperkaya wawasan hati dan pikiran anda.

Tuesday, January 20, 2009

THE CURIOUS CASE OF BENJAMIN BUTTON

Directed by : David Fincher

Produced by : Kathleen Kennedy, Frank Marshall, Ray Stark
Starring : Brad Pitt, Cate Blanchett, Taraji P. Henson, Julia Ormond, Tilda Swinton, Jared Harris, Jason Flemyng.
Screenplay by : Eric Roth

Music by : Alexandre Desplat

Cinematography : Claudio Miranda

Edited by : Kirk Baxter, Angus Wall

Running time : 166 minutes

Budget : US$ 150.000.000

Rated : PG-13 (for brief war violence, sexual content, language and smoking).

Distributed by : Paramount Pictures (USA), Warner Bros (International)

Seorang wanita tua berbaring di rumah sakit ditemani oleh anak perempuannya, Caroline. Perempuan tua itu meminta anak perempuannya untuk membacakan sebuah buku harian milik Benjamin Button. Seorang pria yang terlahir tua. Ibunya meninggal setelah melahirkannya. Ayahnya, Thomas Button meninggalkannya di tangga sebuah rumah jompo, karena Thomas sendiri kaget melihat bayinya yang memiliki kulit keriput. Dirawat oleh Queenie, wanita kulit hitam pengurus panti jompo itu. Beruntung Benjamin yang tumbuh dengan wujud seorang pria tua dibesarkan di lingkungan lanjut usia sehingga terlihat Benjamin ‘sesuai’ dengan habitatnya. Sebenarnya mental Benjamin masih seorang bocah, terkadang dia ingin mencoba sesuatu yang baru namun keadaan fisiknya tidak mendukungnya.


Suatu ketika Benjamin berkenalan dengan seorang cucu perempuan dari salah seorang penghuni panti. Namanya Daisy. Perkenalan ini membawa kesan mendalam bagi Benjamin seakan-akan inilah puber pertamanya. Hubungan Benjamin dengan Daisy bisa dibilang sangat dekat dan berkesan.

Menjelang remaja (bentuk fisiknya masih terlihat keriput), Benjamin bekerja sebagai awak kapal milik Kapten Mike. Bersama Kapten Mike, Benjamin dibawa ke tingkat yang lebih dewasa lagi. Dan ketika Queenie ternyata hamil, Benjamin memutuskan untuk berkelana mengikuti Kapten Mike. Benjamin pun berjanji kepada Daisy untuk mengirimi kartu pos dimana pun dia berada. Bagaimanakah perjalanan seorang pria yang terlahir tua dan lambat laun menjadi muda? Bagaimana dengan kisah cintanya? Apakah akan berakhir bahagia, bertemu dengan seseorang yang mengerti keadaan dirinya?


Siklus hidup manusia adalah lahir (bayi), anak kecil, remaja, dewasa, tua dan meninggal. Bagaimana jika anda mengalami sebaliknya? Itulah yang dialami oleh Benjamin Button. Cerita yang harus diakui sangat unik ini dikembangkan oleh Eric Roth berdasarkan cerita pendek karya F. Scott Fitzgerald dengan judul yang sama.

Sutradara David Fincher seakan-akan merekam kisah panjang Benjamin dalam sebuah film berdurasi hampir 3 jam ini. Beruntung Fincher diberi keleluasaan untuk berimajinasi, berkreasi dalam film ini. Fincher seakan-akan tidak dibatasi oleh durasi film yang terlalu lama. Dia menceritakan kehidupan Benjamin dengan pace yang sangat lambat di awal film. Penonton (saya) dibawa mengikuti kisah Benjamin yang membangkitkan rasa simpati penonton. Kisah yang terentang kurang lebih 80 tahun mungkin akan terasa membosankan pada beberapa adegan tapi nikmati saja adegan demi adegan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bahkan beberapa adegan terlihat begitu artistik dan dengan sinematografi yang indah ditambah dengan iringan musik yang begitu menyatu dengan suasana hati Benjamin. Namun seiring dengan berjalannya film, saya juga dibuat bingung oleh Fincher. Apakah kita hanya diperlihatkan kisah hidup sang tokoh utama ataukah Fincher mempunyai maksud lain? Sampai akhir film, saya pun tidak mendapatkan apapun kecuali merenungkan kembali pengalaman hidup yang unik dari seorang Benjamin. Makanya sekali lagi saya tekankan, nikmati saja film ini dari awal sampai akhir tanpa berpikir. Nikmati saja perjalanan hidup Benjamin yang walaupun terlihat absurd tapi sangat patut direnungkan oleh kita semua sebagai manusia yang terlahir normal. Dan jangan berharap akan adanya penjelasan tentang penyebab fenomena yang terjadi pada Benjamin. Mungkin ini akan menjadi sedikit ganjalan buat penonton. Toh bukan aspek itu yang ingin ditekankan oleh Fincher.

Kerja yang hebat untuk bidang make up dan mungkin CGI crew. Mereka berhasil merias atau bisa saya katakan ‘memoles’ wajah Brad Pitt dan Cate Blanchett sedemikian rupa seiring berjalannya waktu. Akting yang memukau telah dilakoni Cate di film ini. Betapa dia terlihat begitu ceria, rapuh dan penuh cinta. Bagaimana dengan Pitt? Sulit untuk menilai akting Pitt disini karena kebanyakan wajah Pitt dirias. Saya hanya memberi nilai baik untuk akting Pitt bukan akting terbaiknya menurut saya. Bagi kaum hawa, pastikan anda terkagum-kagum melihat wajah Pitt saat dia memiliki wajah remaja.


Yang menarik perhatian saya adalah Taraji P. Henson yang memerankan sosok Queenie. Seorang wanita kulit hitam yang begitu menyayangi dan mencintai Benjamin seperti anaknya sendiri. Begitu juga penampilan Jared Harris sebagai Kapten Mike. Dialah yang mengajarkan kedewasaan kepada Benjamin. Kedewasaan dalam menurut definisi Kapten Mike. Juga dengan mitos burung Hummingbird yang mewakili spirit dari seseorang yang sudah meninggal.
Dibantu oleh Julia Ormond yang berperan sebagai Caroline. Ormond pernah berpasangan dengan Pitt dalam film Legend of the Fall. Juga ada Tilda Swinton, Elias Koteas dan Jason Flemyng.

Ada satu yang mengganjal pikiran saya. Jika kasus Benjamin ini dikatakan aging backward (pertumbuhan terbalik). Bagaimana mengatakannya ya? Coba saya jelaskan, dikatakan Benjamin lahir tua terus kemudian menjadi muda. Jika yang dimaksud adalah mental dan pertumbuhan jiwanya, maka hal ini diperlihatkan dengan urutan yang benar di film. Karena diperlihatkan bagaimana Benjamin bertingkah laku seperti anak kecil ketika dia beranjak remaja tapi dalam balutan kulit seorang yang lanjut usia lalu perlahan-lahan menjadi dewasa dan tua namun dalam fisik seorang yang muda. Tapi yang mengusik perhatian saya adalah penampilan fisiknya. Jika dikatakan Benjamin mengalami aging backward seharusnya dia terlahir tua tapi bukan bayi melainkan dalam bentuk tua tapi berbadan besar (bukankah seorang kakek-kakek, kulitnya keriput tapi bentuk fisiknya bukan sekecil bayi kan). Baru lama kelamaan bentuk fisiknya menjadi muda lalu semakin kecil selayaknya remaja lalu anak kecil kemudian baru menjadi bayi. Tapi tidak dengan Benjamin, dia terlahir kecil seperti bayi tapi kemudian meninggal pun sebagai bayi. Agak terlihat tidak sinkron. Tapi harap dimaklumi, jika dia terlahir sebagai orang yang tua dengan tubuh yang besar, bagaimana Ibu Benjamin bisa melahirkannya. Namun hal ini tetap menjadi ganjalan di benak saya setelah menonton. Saya harap ganjalan ini tidak mengganggu anda dalam menonton film ini, yang menurut hemat saya wajib ditonton.



Tapi kembali lagi. Karya Fincher kali ini bisa dibilang tidak mengecewakan tapi bukan yang terbaik. Menyentuh tapi tidak cengeng. Artistik tapi tidak berlebihan. Ada satu adegan yang menarik perhatian saya dalam film ini. Yaitu adegan “pengandaian” yang menurut saya sangat memorable. Saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut tentang adegan ini. Silakan saja anda tonton sendiri.

Friday, January 16, 2009

TRANSPORTER 3

Directed by : Oliver Megaton

Produced by : Luc Besson, Steve Chasman

Starring : Jason Statham, Francois Berleand, Robert Knepper, Natalya Rudakova, Jeroen Krabbe, David Atrakchi

Written by : Luc Besson, Robert Mark Kamen


Music by : Alexandre Azaria


Cinematography : Giovanni Fiore Coltellacci


Edited by : Camille Delamarre, Carlo Rizzo


Running time : 100 minutes

Budget : US$ 41.000.000

Rated : PG-13 (for sequences of intense action and violence, some sexual content and drug material)

Distributed by : EuropaCorp, Lionsgate, 20th Century Fox (United Kingdom)

Pada tahun 2002 muncul tokoh Frank Martin yang diciptakan oleh Luc Besson. Frank adalah seorang transporter, seseorang yang pekerjaannya mengantarkan ‘sesuatu’ ke suatu tempat. Frank mempunyai tiga peraturan.
1. Never Change the Deal
2. No Names
3. Never Look in the Package

Karakter Frank yang berotot, cool, jago bela diri ini dimainkan dengan pas oleh Jason Statham. Film pertama disutradarai oleh Corey Yuen yang juga merangkap fighting coreographernya. Dengan modal US$ 21 juta berhasil mendapatkan total US$ 43 juta di seluruh dunia. Dilanjutkan dengan sequelnya yang penyutradaraannya beralih ke Louis Letterier (Corey Yuen masih merangkap fighting choreographer). Film keduanya mendapatkan dolar lebih banyak. Dengan bujet US$ 32 juta, tapi mengantongi US$ 85 juta di seluruh dunia. Installment-nya yang terakhir kini disutradarai oleh Oliver Megaton.

IT’S TIME TO BREAK ALL THE RULES
Bercerita tentang Frank yang sudah pensiun. Ketika ditawari oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, Frank merekomendasikan temannya Malcolm (David Atrakchi). Ketika suatu malam, rumah Frank ditabrak oleh sebuah mobil yang ternyata didalamnya terdapat Malcolm yang luka parah. Begitu hendak dilarikan ke rumah sakit, ambulance yang mengangkut Malcolm meledak. Lalu Frank mendapati seorang gadis di jok belakang mobil. Sebelum akhirnya Frank dipukul pingsan.

Begitu terbangun, Frank berhadapan dengan Johnson (Robert Knepper). Ternyata Johnson lah yang mempekerjakan Malcolm dan kini dia ingin Frank yang melanjutkan pekerjaan Malcolm. Seperti Malcolm, pergelangan tangan Frank dipasang semacam alat. Johnson menerangkan bila Frank terpisah 75 feet dari mobilnya maka Frank akan meledak. Dengan terpaksa Frank melaksanakan ‘mission’ yang diberikan Johnson. Hanya anehnya Johnson menyertakan Valentina (Natalya Rudakova), gadis yang didapati Frank berada di jok belakang mobil, untuk ikut bersama Frank.

Mulailah perjalanan Frank , kemanapun Johnson menyuruhnya pergi. Tapi ternyata ada pihak lain yang mengikuti Frank. Dengan bantuan temannya, Tarconi (Francois Berleand), Frank berusaha melarikan diri dari pihak-pihak yang mengincarnya. Bagaimana cara Frank lepas dari alat di tangannya? Apalagi masalah bertambah ketika mobilnya masuk ke dalam sungai. Apakah yang sebenarnya menjadi tugas Frank?

Luc Besson adalah sineas Perancis yang terkenal. Film-film yang disutradarainya antara lain La Femme Nikita, Leon: The Professional, The Fifth Element. Selain menulis dan menyutradarai, Luc pun memproduseri banyak film seperti Taxi, Kiss of the Dragon dan Transporter tentu saja. Penulisan naskah dibantu oleh Robert Mark Kamen yang setia menemani dari film pertamanya.

Sebenarnya ide mengenai alat yang tidak boleh terpisah jauh dari pusatnya, pernah diterapkan dalam film Wedlock (1991) yang dibintangi oleh Rutger Hauer, Mimi Rogers dan Joan Chen. Untuk menambah ketegangan dan konflik maka Frank dipasang gelang, dimana jika Frank berada lebih dari 75 feet (kira-kira 22,86 meter) maka gelang tersebut akan meledak. Padahal poin ini bisa dibuat lebih menegangkan tapi sayang malah digunakan untuk hal-hal yang tidak berguna kecuali ketika mobil Frank tercebur ke dalam air. Penonton dibuat penasaran dengan apa yang dilakukan Frank.

Selain menggunakan “gelang” , Frank pun “harus” jatuh cinta dengan Valentina. Kenapa saya mengatakan HARUS, well untuk seorang Frank Martin yang jarang bicara, seharusnya tidak begitu gampang jatuh cinta, ataupun bisa jatuh cinta tapi dengan alasan yang tepat. Nah disini tidak diperlihatkan bagaimana Frank bisa menyukai Valentina bahkan prosesnya pun berlangsung sangat cepat. Aspek jatuh cinta ini memang dipaksakan untuk menambah bobot film (padahal tidak harus demikian) sehingga karakter Frank menjadi semakin sulit posisinya. Lihat betapa lunaknya hati Frank di seri ketiga ini, dengan mengajak berkenalan, mengulurkan tangan untuk berkenalan, berbicara tentang makanan favorit. Berbeda jauh ketika dia berhadapan dengan Shu Qi, mungkin inilah yang dinamakan jodoh.

Untuk adegan laganya pun mengalami sedikit penurunan. Corey Yuen tidak terlihat mumpuni dalam menggarap adegan baku hantam. Tidak ada yang terlihat istimewa. Ingat adegan berkelahi dengan oli berceceran di lantai (Transporter yang pertama), cukup menarik kan?

Bagaimana dengan isu limbah beracun yang menjadi adegan pembuka dan bahkan sebenarnya inilah akar dari semua kejadian-kejadian di film ini. Jangan berharap banyak. Hal ini hanya merupakan plot yang tidak berkembang. Walaupun sebenarnya bisa menjadi poin yang menarik juga.

Tapi tetap ada hal-hal yang masih cukup berharga di sini, misalnya ketika Frank berhadapan dengan lawannya yang lebih besar. Juga adegan di dalam air, walaupun terlihat sedikit tidak masuk akal, tapi patut diakui idenya cukup pintar. Juga ketika Frank mengendarai sepeda dengan lincahnya untuk mengejar mobilnya.

Jason Statham sudah dikenal sebagai aktor laga yang jarang bicara tapi aksinya mantap. Tapi jika tidak berkembang dengan perannya, lama kelamaan nasibnya bisa seperti Jean Claude Van Damme atau Steven Seagal. Tapi hal ini rasanya belum dikhawatirkan oleh Jason karena saat ini orang-orang masih menggemarinya. Sang villain diperankan oleh Robert Knepper. Jika anda penggemar serial Prison Break pasti mengenali wajah Knepper. Valentina diperankan oleh aktris gres, Natalya Rudakova. Sobat Frank, Tarconi masih diperankan oleh Francois Berleand.


Jika anda berharap melihat aksi-aksi seru, hmm.. film ini masih bisa dianggap memadai meskipun tidak terlalu dahsyat. Dan yang pasti apabila Luc Besson tidak ingin melanjutkan Transporter ke jilid berikutnya. Melihat kemampuannya mengendarai sepeda di film ini, Jason Statham masih bisa beraksi di film yang baru, dengan judul “The Biker”.

Friday, January 9, 2009

HANCOCK

Directed by : Peter Berg

Produced by : Akiva Goldsman, James Lassiter, Michael Mann, Will Smith
Starring : Will Smith, Jason Bateman, Charlize Theron, Jae Head, Eddie Marsan

Written by : Vincent Ngo, Vince Gilligan

Music by : John Powell

Edited by : Paul Rubell, Colby Parker Jr.

Running time : 93 minutes

Distributed by : COLUMBIA PICTURES

THERE ARE SUPERHEROES, THERE ARE HEROES AND THERE’S HANCOCK.

Berarti Hancock tidak termasuk superhero dan juga tidak termasuk pahlawan. Jadi siapakah Hancock? Hancock (Will Smith) adalah ‘seseorang’ yang berbeda. Penampilan acak-acakan, suka minuman keras, berpakaian ala kadarnya, kurang ajar. Namun dibalik semua itu, Hancock bisa terbang dengan cepat, sangat kuat dan immortal. Tapi karena slebornya, tiap melakukan aksi bukan pujian yang dia terima tapi malahan cacian dan makian dari penduduk Los Angeles. Hal ini dikarenakan kerusakan yang Hancock timbulkan lebih merugikan.
Ketika dia menyelamatkan Ray Embrey (Jason Bateman) yang mobilnya hampir tertabrak kereta api. Walaupun berhasil menyelamatkan Ray tapi seperti biasanya akibat dari aksi penyelamatan Hancock lebih merugikan. Namun Ray yang bekerja sebagai Public Relation berterima kasih kepada Hancock dan mengundangnya untuk makan malam di rumahnya. Disinilah Hancock berkenalan dengan istri Ray, Mary Embrey (Charlize Theron) dan anaknya, Aaron Embrey (Jae Head). Ray yang bersimpati pada Hancock ingin mengubah citra Hancock menjadi baik dimata masyarakat.
Dengan anjuran Ray, walaupun berberat hati Hancock mengajukan dirinya untuk dipenjara dalam upaya menebus kesalahannya. Penantian Hancock tidak lama. Kejahatan meningkat dengan tidak adanya Hancock. Lalu Hancock diminta bantuan untuk membantu pihak kepolisian dalam sebuah perampokan bank. Dengan menjaga hati-hati tingkah lakunya yang ugal-ugalan, Hancock berhasil menyelamatkan para sandera dan mengambil simpati masyarakat.
Ketika ditanya tentang masa lalunya oleh Ray, Hancock menjawab bahwa dia hanya ingat terbangun di rumah sakit 80 tahun yang lalu dan tidak ingat siapa dirinya. Ternyata Hancock tidak sekuat yang diduga, karena pada suatu peristiwa dirinya tertembak ketika sedang menggagalkan sebuah perampokan di mini market. Siapakah sebenarnya Hancock?

Banyak film superhero yang sudah dibuat oleh Hollywood. Tapi yang bercorak komedi masih belum banyak. Misalnya My Super Ex-Girlfriend, juga dulu ada serial TV yang berjudul The Greatest American Hero (1981-1983). Dan kini muncul Hancock.

Cerita Hancock bukan berdasarkan komik keluaran Marvel maupun DC tapi berasal dari cerita yang ditulis oleh Vincent Ngo pada tahun 1996. Judul script aslinya adalah Tonight, He Comes In. Sedangkan Peter Berg sang sutradara pun bukan pilihan pertama pada waktu itu. Dari Tony Scott, Michael Mann, Jonathan Mostow bahkan Gabriele Muccino (Pursuit of Happyness). Akhirnya pada 2006, Peter Berg dipastikan menjadi sutradara. Judulnya pun sempat berubah menjadi John Hancock sebelum akhirnya menjadi Hancock.

Will Smith berperan sebagai Hancock yang kesepian karena merasa dialah ‘spesies’ satu-satunya di dunia. Sejak 80 tahun yang lalu, tidak ada yang mengakuinya sebagai kerabat. Mungkin inilah yang menyebabkan tingkah lakunya menjadi sinis, temperamental dan ugal-ugalan. Ditambah kritikan pedas dan makian dari masyarakat Los Angeles. Dalam hati Hancock sebenarnya ingin dihargai oleh orang-orang. Lihat saja ekspresinya ketika dia dimarahi oleh orang-orang sedangkan Ray malah berterima kasih padanya dan menyalaminya. Namun walaupun sering tidak dihargai oleh masyarakat Los Angeles, toh Hancock masih tetap bersedia menolong. Hal inilah yang membuat karakter Ray yang diperankan oleh Jason Bateman, berusaha memperbaiki citra Hancock. Di pikiran Ray, dia merasa seperti Hancock. Ingin merubah (menolong) dunia tapi karena dianggap merugikan orang lain (dalam kasus Ray, yang dirugikan adalah perusahaan yang harus memberikan sebagian keuntungannya) maka mereka berdua tidak diterima di “masyarakat” Ditambah Ray merasa bahwa Hancock ditakdirkan untuk menjadi seorang pahlawan sehingga dia berusaha keras membuat Hancock memenuhi takdirnya.

Layaknya film Superhero, untuk menjadi seorang pahlawan memang membutuhkan banyak pengorbanan. Film ini pun tidak terlepas dari pakem ini. Bahkan di dalam film ini ada dua orang pahlawan atau mungkin tiga jika Karakter Mary yang diperankan oleh Charlize Theron dianggap seorang ‘hero’ juga. Walaupun sebenarnya apapun yang dilakukan Mary semata-mata demi cintanya pada Ray dan Aaron yang sudah dianggap anaknya sendiri.

Mungkin hal inilah yang ingin dikedepankan oleh Berg dalam film yang berbalut dengan adegan-adgan aksi yang cukup memukau di awal film, ditambah beberapa selipan humor dan jalinan drama yang sebenarnya cukup kuat. Berg bisa dikatakan cukup berhasil di awal film sampai 60 menit ke depan. Karena memang ceritanya sudah pas dimana alur menceritakan seorang pahlawan yang bangkit dari keterpurukannya cukup menarik. Namun berlawanan dengan kharisma Hancock yang menanjak naik, bobot film seakan-akan menurun. Bisa dianggap seperti buah simalakama, jika film selesai dalam waktu satu jam, maka penonton akan bertanya-tanya tentang banyak hal seperti misalnya masa lalu Hancock. Tapi ketika film diteruskan, penonton tambah mengerutkan kening. Penjelasan tentang sebenarnya siapa Hancock cukup mengejutkan tapi mungkin kurang ditata dengan baik dalam naskah sehingga berkesan tidak menambah nilai dari apa yang sudah tersaji satu jam sebelumnya (seakan-akan hanya ingin memberi penjelasan saja). Ditambah dengan musuh Hancock yang kurang ‘strong’ mengurangi ‘kekuatan’ film ini. Walaupun ending film yang dibuat dramatis cukup membuat haru.

Will Smith memang jaminan larisnya sebuah film, apalagi jika film tersebut diedarkan pada musim panas. Terbukti dengan modal US$ 150 juta, mendapat US$ 227 juta di US dan US$ 396 juta di luar US. (Dan kabarnya akan dibuat sekuelnya). Permainan Smith sebagai seorang Hancock yang kesepian bisa dibilang berhasil walaupun hanya diselipkan sepintas di beberapa adegan ditambah alunan musik yang cukup mendukung suasana (tidak seperti di I am Legend, atmosfer kesepian Smith benar-benar diekspos di awal film). Jika anda melihat behind the scene dari film ini, ternyata Smith tidak menggunakan stuntman. Benar-benar itu Will Smith yang meloncat tinggi dengan memakai wire. Jason Bateman kembali lagi bekerja sama dengan Peter Berg setelah The Kingdom. Charlize Theron bermain ‘santai’ sebagai seorang istri yang memendam sebuah rahasia. (a little spoiler hehe)
Powered By Blogger