Directed by : Scott Stewart
Produced by : David Lancaster, Mitchel Litvak
Starring : Paul Bettany, Lucas Black, Tyrese Gibson, Dennis Quaid, Adrianne Palicki, Kate Walsh
Written by : Peter Schink, Scott Stewart
Music by : John Frizzel
Cinematography : John Lindley
Edited by : Steven Kemper
Running time : 100 minutes
Budget : US$ 26 million
Distributed by : SCREEN GEMS
Begitu lihat posternya, kesan yang pertama yang saya pikirkan adalah unik. Malaikat bersayap tapi di kedua tangannya memegang senjata. Sejujurnya saya suka sekali dengan premis ceritanya. Kiamat. Entah kenapa saya selalu suka dengan genre cerita seperti ini. Tapi biasanya film seperti ini dibagi dua. Kiamat oleh bencana alam dan kiamat oleh hal lain. Nah film ini adalah apocalypse yang disebabkan oleh sesuatu diluar bencana alam.
Saya tidak akan menceritakan apa penyebab bencananya, tapi jelas ide cerita film ini cukup langka. Dan sudah terbayang dalam benak saya bahwa akan terjadi sebuah pertarungan mati-matian umat manusia dalam mencegah kiamat ini. Imajinasi saya ternyata benar. Awal film dibuat kelam dibawah guyuran hujan dan kilatan petir. Jelas sesuai dengan jalan cerita. Seperti biasa kita diperkenalkan dengan karakter-karakter lain yang akan mengisi perannya sepanjang film. Lalu mulailah gebrakan pertama. Jantung saya mulai berdebar-debar diiringi musik yang mulai menghentak-hentak. Adegan berikutnya luar biasa menegangkan. Salah satu adegan seru yang pernah saya tonton. Batin saya merasa bahwa ini adalah pilihan film yang tepat yang saya tonton hari itu. Film sedikit menurun ritmenya. Lalu ada sedikit lagi lonjakan. Sampai akhirnya tidak ada lagi yang menarik.
Lenyap sudah bayangan cerita kiamat yang ada di pikiran saya. Yang pasti isi film ini hanya menarik di awal saja, jadi saran saya jangan sampai telat masuk bioskop. Tapi yang pasti anda boleh meninggalkan bioskop sebelum film berakhir.
Padahal jika dilihat dari deretan castnya, ada nama Paul Bettany. Mungkin memang dia tidak pernah bermain film aksi, tapi jelas selama ini dia sudah bermain cukup apik. Tapi penampilannya disini cukup “cool” Lalu ada Dennis Quaid yang makin laris saja. Kedua nama ini sebenarnya sudah merupakan modal yang cukup untuk membuat sebuah film menjadi menarik (ditambah premis cerita yang di atas rata-rata). Hanya sayang ide cerita yang menarik tidak dikembangkan lebih baik. Karakter-karakter yang ada pun tidak dibuat lebih mengesankan. Mereka hanya sekedar tampil untuk menceritakan masa lalu mereka dan kemudian mati. Sudah selesai tugas mereka sebagai aktor/aktris. Jelas ini menurut saya adalah kekurangan dari skenario yang tidak berkembang ke arah yang lebih baik.
Jika melihat “sayap” di film ini, saya langsung teringat dengan Contantine dimana hampir memiliki alur cerita yang sama. Tapi alangkah beda, sayapnya dalam bentuk visual maupun “sayap” dalam pengertian eksekusi cerita. Constantine jelas ide ceritanya malah lebih klise tapi dibuat dengan ramuan yang lebih pas. Sedangkan Legion mempunyai ide yang brilian tapi ramuannya malah mengurangi rasa.
Mungkin Legion mempunyai misi yang tersembunyi. Bayi yang sedang dikandung oleh Charlie. Lalu semua ini terjadi di Paradise Falls. Hanya sayang mungkin karena buruknya film ini, semua hal tersebut benar-benar tersembunyi dan tidak tersangkut di benak penonton. Setelah menonton pun, mereka hanya berkomentar, “That’s it!”
Untunglah sound film ini mendukung. Musik cukup setia memandu setiap adegan dengan pas. Spesial efek pun tidak terlalu dipaksakan. Dengan bujet yang hanya US$ 26 juta, film ini jelas tidak menghamburkan dananya untuk spesial efek yang berlebihan. Mobil-mobil yang diledakkan pun terlihat bukan mobil mahal. Para pemerannya pun bisa dihitung dengan jari, diluar pemain figuran. Padahal District 9 menghabiskan biaya yang tidak jauh US$ 30 juta. Tapi terlihat sekali betapa bagusnya spesial efek film itu.
Sang sutradara, Scott Stewart sering bekerja di belakang layar dalam bagian visual effect seperti film The Lost World : Jurassic Park, Harry Potter and Goblet of Fire, Superman Returns, Pirates of The Carribean : Dead Man’s Chest, Ironman. Tidak buruk untuk bagian awal film, hanya cara meramu Scott di pertengahan film seakan-akan terjebak dengan film yang bergenre sejenis. Tidak harus dengan pola yang sama Bung Scott. Buatlah gaya anda sendiri. Karena anda sudah mempunyai modal, ide cerita yang bagus. Sayang sekali Scott tidak memberi detil yang cukup kepada penonton, apa saja yang bisa dilakukan oleh karakter Gabriel dan Michael. Sehingga mungkin penonton pun akan bingung mengenai konklusi dari ending film. Dan banyak hal lain yang tidak dijelaskan di film ini.
Paul Bettany, ternyata dia menjadi pengisi suara Jarvis di Ironman. Saya tidak pernah mengetahui hal ini. Saya suka Bettany ketika dia bermain (tentu saja) di A Beautiful Mind. Suaranya yang dingin cukup khas. Kemudian berduet lagi dengan Russell Crowe di Master and Commander : Far Side of The World. Sayang penampilan mereka berdua termasuk biasa saja disana. Lalu bermain di The Davinci Code. Kini mencoba film aksi dengan melakukan baku tembak dan baku hantam di film ini. Sebenarnya Bettany cukup bermain bagus disini, hanya naskah cerita yang membatasi gerakannya. Dan ternyata Bettany masih akan bekerja sama lagi dengan Scott untuk proyek berikutnya Priest yang akan dirilis 2011. (masih bergenre action-horror). Semoga kerjasama mereka yang kedua ini akan lebih baik.
Dennis Quaid, semenjak cerai dengan Meg Ryan. Karir aktor berkharisma satu ini menanjak laris manis. Bermain dalam film-film besar seperti The Day After Tomorrow, G.I. Joe : The Rise of Cobra. Film Quaid yang saya suka adalah Frequency dan The Day After Tomorrow.
Jika anda penggemar serial Private Practice atau Grey’s Anatomy, maka akan mengenali sosok Kate Walsh yang berperan sebagai Dr. Addison. Dia berakting sedikit berbeda disini.
Jadi kesimpulannya, jangan sampai telat masuk karena hal-hal yang bagus hanya terjadi di awal film lalu terjun ke jurang kebosanan setelah pertengahan film. Dan dari endingnya bisa ditebak bahwa akhir film memberi jalan untuk sebuah sequel.
8 comments:
film nya agak aneh menurut gw.... serba nanggung dengan ending ya ga klimaks!
tapi yg nenek nenek bisa jalan di tembok itu lumayan ngagetin seh hehe
and yeah, the angel's wings reminds me of constantine
@Aris : setuju, rada nanggung hehe...sayang sekali.
tadinya saya mau lihat film ini.
tapi setelah melihat ulasan anda (bujet minimal, ending yang gag jelas, bintang film yang pas2an, dll) kayanya pikir2 lg deh XD
lagipula ini masih februari. film2 rame biasanya hadir pada awal musim panas. hahahah XD
@Fang : hehe...tidak terlalu recommended sih. Nontonnya kapan2 aja kalo sempet hehehe...
Aku cukup terhibur dengan film ini. Idenya asyik. Lucu saja melihat para malaikat bertarung. Mana pake pistol dan pisau lagi.
Gambar-gambarnya cukup enak ditontoton.
Soundnya justru terlalu berlebihan di kupingku.
@Gilasinema : idenya sih luar biasa keren. Soundnya memang sedikit bising, tapi masih mending lah daripada agak mellow hehe..
bang, aku bingung bang... kalau di terminator pentingnya john connor kan jelas dia mimpin resistance in the future. kalau legion ini pentingnya itu anak apa ya? toh ternyata God juga ga jadi punish human...?
and seandainya tetap dihukum, itu anak emang signifikannya apa? what made him special?
@Maxim : inilah kalo sineas bikin film yang berharap laku dan berangan-angan ada sekuel hehehe...jadi ceritanya ga jelas.
Post a Comment