Directed by : Gabriele Muccino
Produced by : Todd Black, Jason Blumenthal, James Lassiter, Will Smith, Steve Tisch
Starring : Will Smith, Rosario Dawson, Woody Harrelson, Michael Ealy, Barry Pepper
Written by : Grant Nioporte
Music by : Angelo Millie
Cinematography : Philippe Le Sourd
Edited by : Hughes Winborne
Running time : 123 minutes
Budget : US$ 55 juta
Rated : PG-13 (for thematic material, disturbing content and a scene of sensuality).
Distributed by : Columbia Pictures
Sulit untuk memberikan review film ini tanpa membeberkan beberapa spoiler. Tapi akan saya coba. Film diawali dengan Ben Thomas menelpon 911. Lalu adegan berpindah dimana Ben Thomas memarahi Ezra Turner, seorang salesman buta lewat telepon. Gaya bicara dan kata-katanya yang kasar ditanggapi Ezra dengan tenang dan sabar. Lalu cerita berlanjut dengan Ben memasuki data dinas pajak dan mendapati nama Emily Posa. Ternyata Emily menderita heart failure sehingga sering bolak balik masuk rumah sakit. Entah apa maksud Ben mendekati Emily, tapi lama-kelamaan Emily menjadi tertarik dengan Ben. Tapi Ben terlihat sedikit menjaga jarak dari Emily.
Sulit untuk memberikan review film ini tanpa membeberkan beberapa spoiler. Tapi akan saya coba. Film diawali dengan Ben Thomas menelpon 911. Lalu adegan berpindah dimana Ben Thomas memarahi Ezra Turner, seorang salesman buta lewat telepon. Gaya bicara dan kata-katanya yang kasar ditanggapi Ezra dengan tenang dan sabar. Lalu cerita berlanjut dengan Ben memasuki data dinas pajak dan mendapati nama Emily Posa. Ternyata Emily menderita heart failure sehingga sering bolak balik masuk rumah sakit. Entah apa maksud Ben mendekati Emily, tapi lama-kelamaan Emily menjadi tertarik dengan Ben. Tapi Ben terlihat sedikit menjaga jarak dari Emily.
Selain Emily dan Ezra, ternyata Ben pun sedang mengamati beberapa orang lain seperti Connie Tepos, seorang ibu dua anak yang sering dipukuli oleh pacarnya. Juga ada George Ristuccia, seorang pria tua pelatih hockey, juga ada seorang anak kecil, Nicholas dan seorang wanita bernama Holly.

Melihat trailer film ini, (in seven days, God created the world and in seven second, I shattered mine) membuat kita penasaran apa yang sebenarnya menjadi inti cerita film ini. Dan ketika anda menonton filmnya, di awal film pun, sengaja anda akan dibuat bertanya-tanya. Ditambah alur ceritanya yang sering flash back. Tapi jangan khawatir karena di pertengahan film, anda mulai bisa menebak-nebak ke arah mana anda akan dibawa.
Will Smith memainkan perannya dengan baik setelah tampil sedikit berotot di Hancock, disini Will terlihat lebih kurus demi menjiwai perannya (ikut sebagai produser disini). Dan harus diakui bahwa Will adalah salah satu aktor Hollywood paling terkenal saat
ini. Dimana film-filmnya menjadi jaminan kelarisan baik itu genre drama, komedi, aksi atau bahkan sci-fi sekalipun. Namun yang menarik perhatian saya adalah karakter Ezra yang dimainkan oleh Woody Harrelson. Penampilannya tidak dominan tapi bisa membuat film menjadi hidup. Woody berhasil memainkan peran seorang tuna netra yang sabar, hidup dalam kesendiriannya, menghibur orang dengan bermain piano bahkan sering mengunjungi sebuah café yang ternyata disitu ada seorang wanita yang ingin dikencaninya. Satu lagi yang membuat saya terkesan adalah Rosario Dawson yang bermain sebagai Emily Posa. Salah satu karakter kunci di film ini. Dawson berhasil memerankan seorang wanita yang lemah jantung, bahkan mengajak anjingnya jalan-jalan pun, dia tidak kuat. Kita dibuat percaya dengan kelelahan dimatanya bahkan helaan napasnya bahwa memang Emily memiliki jantung yang lemah.

Tapi sayang adegan romantisme antara Ben dan Emily, menurut saya agak terlalu dipaksakan. Mengingat masa lalu Ben (saya tetap tidak akan kasih spoiler), harusnya tidak terjadi segampang itu. Mungkin hal ini dilakukan untuk memperkuat motif Ben atau ujian buat Ben untuk menjalankan ‘misi’ nya. Namun Gabriele Muccino sebagai sang sutradara, berhasil menjalin suatu hubungan yang ‘manis’ antara Ben dan Dan , teman sejatinya. Sebuah persahabatan yang kokoh dan menurut saya hal ini menarik sekali.

Apakah film ini sama bagusnya dengan Pursuit of Happyness? Yang bisa saya katakan mereka adalah dua film yang berbeda. Menurut saya, Pursuit lebih menekankan kepada seorang karakter Chris Gardner dalam perjuangan hidupnya, ditambah itu adalah kisah nyata sehingga membuat film tersebut menjadi film penuh inspirasi. Sedangkan Seven Pounds lebih terfokus dalam hubungan antar karakter ditambah adegan-adegan yang menyentuh. Apalagi bila anda sudah melihat endingnya (menurut saya) cukup dramatis dan mengharukan. Jadi saran saya, jangan bandingkan kedua film itu tapi tontonlah keduanya untuk memperkaya wawasan hati dan pikiran anda.